Pages

Jumat, 02 Juli 2010

UU BHP Sudah (Seharusnya) Dibatalkan

Oleh: ADING SUTISNA*)
Pemerintah sebenarnya tidak perlu ngotot untuk menerbitkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU Nomor 9 Tahun 2009). UU tentang BHP itu tidak dikenal dalam khasanah hukum perusahaan, apalagi dalam khasanah hukum perusahaan yang berlaku internasional, meskipun dengan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah dan DPR berhak menerbitkan suatu peraturan atau undang-undang. Bila pemerintah ingin memperjelas status hukum dari satuan pendidikan, pemerintah tinggal mendorong masyarakat yang sudah atau ingin berusaha di sektor pendidikan untuk memilih badan hukum usaha yang sudah ada undang-undangnya. Seperti UU tentang Yayasan, UU tentang Perseroan Terbatas, dan UU tentang Koperasi. Berilah kebebasan kepada setiap orang yang mau berusaha di sektor pendidikan untuk memilih badan hukum yang sudah ada undang-undangnya, yang prinsip dan aturannya berlaku universal. 
Bila ada seseorang yang menyisihkan kekayaan pribadinya, lantas mendirikan sekolah yang biayanya murah, bahkan gratis, dan yang bersangkutan tidak akan mengambil keuntungan sepeser pun dari sekolah yang didirikannya, maka yang bersangkutan bisa memilih badan hukum Yayasan untuk lembaga pendidikannya-nya, maka dia harus taat pada UU tentang Yayasan dan UU Perpajakan. Akan tetapi apabila, ada seseorang atau sekelompok orang yang ingin berusaha di sektor pendidikan dengan motiv mencari keuntungan, maka jangan dihalangi. Orang tersebut dapat memilih badan hukum PT atau Koperasi, dan yang bersangkutan harus menaati UU tentang PT atau UU tentang Koperasi dan UU tentang Perpajakan.
Pada tahun 1994, pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1994 telah meratifikasi beberapa ketentuan dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), diantaranya menegaskan bahwa sektor pendidikan dan sektor kesehatan Indonesia termasuk dalam sektor jasa yang diperdagangkan. Sebenarnya sejak tahun 1967, yaitu pada awal pemerintahan Presiden Suharto, pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai entitas usaha. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor: 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Di dalam UU Nomor:1 Tahun 1967, khususnya dalam Pasal 6 ayat 1 secara jelas dinyatakan bahwa sektor pendidikan, bukan termasuk sektor yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak sehingga dianggap perlu harus dikuasai oleh negara. Di era pemerintahan Presiden SBY, hal ini berlanjut, yaitu melalui penerbitan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 12 disebutkan, ”bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, termasuk penanaman modal asing, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang”, dan sampai saat ini tidak ada undang-undang yang secara ekplisit menyatakan bahwa sektor pendidikan sebagai sektor yang tertutup dari penanaman modal swasta, dan harus dikuasai (dikelola) oleh pemerintah.
Menempatkan sektor pendidikan dan sektor pelayanan publik lainnya sebagai sektor usaha (bisnis) yang harus dikelola dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sudah merupakan keniscayaan. Apalagi bagi negara yang bukan negara sosialis atau komunis. Resistensi masyarakat kita terhadap yang berbau "privatisasi", bisa dipahami, karena negara kita pada era pemerintahan Sukarno pernah menganut sosialisme, sehingga hampir semua sektor dinasionalisasi. Kita lupa, bahwa sebelum republik ini berdiri, Taman Siswa sudah mendirikan sekolah, Muhamadiyah sudah mendirikan sekolah dan Balai Pengobatan, Mohammad Syafe'i sudah mendirikan sekolah NIS Kayu Tanam di Sumatera Barat, Organisasi Katolik dan Kristen juga sudah mendirikan sekolah dan rumah sakit. Itu semua adalah inisitif swasta. Pada era Pemerintahan Suharto, walaupun secara yuridis sektor pendidikan telah ditempatkan sebagai suatu entitas usaha, akan tetapi karena pertimbangan politis, sektor pendidikan dibiarkan mendua, dan menjadi objek kooptasi birokrasi. Karena guru jumlahnya banyak, maka pengangkatan guru sebagai pegawai negeri merupakan acara rutin menjelang pemilihan umum. Bila kita kaji secara seksama UU BHP itu, upaya kooptasi sektor pendidikan oleh birokrasi pemerintah terus dipelihara dan diberi payung hukum. 
Persoalan pokok yang dihadapi sektor pendidikan kita, sama dengan persoalan pokok bangsa ini, yaitu masalah korupsi. Mutu pendidikan kita tertinggal bila dibandingkan negara-negara tetangga, menurut pengamatan saya, karena praktek korupsi juga telah merasuki penyelenggaraan dan pengelolaan satuan pendidikan kita, terutama satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan dikelola oleh birokrasi pemerintah. Di satuan pendidikan negeri, praktek korupsi terjadi karena pemerintah merangkap hampir semua peran, yaitu sebagai Regulator, Fasilitator, Operator, dan Auditor. Maka terlihat ironis, satuan pendidikan negeri (sekolah negeri, PTN, dan sekolah kedinasan) yang konon katanya milik publik, dan pembiayaannya dibiayai oleh APBN, APBD dan hutang luar negeri, tidak pernah terlihat memublikasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja-nya (untuk sekolah, biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belaja Sekolah atau APBS) pada setiap awal tahun, dan memublikasikan laporan keuangan-nya pada setiap akhir tahun. Sepengetahuan saya, baru Universitas Airlangga yang pernah menerbitkan Laporan Keuangannya beberapa tahun yang lalu di salah satu surat kabar nasional.
Tantangan kita saat ini adalah, bagaimana mengatasi dan mencegah praktek korupsi di satuan pendidikan (sekolah, madrasah, dan PT), khususnya di setiap satuan pendidikan negeri? Para pakar Good Governance, menyarankan, jadikan sektor pendidikan sebagai entitas usaha (bisnis) yang dikelola dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. "Pemerintah menetapkan tarif. Yang mampu membayar, yang tidak mampu pemerintah berkewajiban memberikan beasiswa sebesar tarif yang ditentukan". Subsidi yang efektif adalah melalui mekanisme perpajakan, bukan melalui subsidi silang. Prinsip-prinsip GCG di satuan pendidikan negeri akan dapat berjalan bila satuan pendidikan negeri berbadan hukum PT Persero yang bersifat terbuka. Dikatakan satuan pendidikan sebagai satuan pendidikan negeri, bila pemerintah memiliki saham mayoritas di PT tersebut. PT Persero yang bersifat terbuka untuk satuan pendidikan negeri, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta memiliki saham PT tersebut. Hanya dengan adanya keterkaitan finasial antara individu dengan institusi, maka pengelola institusi "dipaksa" untuk bersikap transparan dan akuntabel.
Bagaimana dengan nasib siswa dan mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi? Saat ini akreditasi yang dilakukan Depdiknas tidak memasukan komponen biaya per siswa atau mahasiswa (unit cost: uang pangkal dan iuran bulanan). Seharusnya pemerintah sebagai regulator, memasukan unit cost siswa atau mahasiswa dalam proses akreditasi setiap satuan pendidikan. Tentunya, satuan pendidikan yang mendapat hasil akreditasi A tidak akan sama unit cost siswa atau mahasiswa-nya dengan satuan pendidikan yang mendapat hasil akreditasi B, atau C. Penetapan tarif pendidikan atau unit cost pada setiap proses akreditasi satuan pendidikan perlu ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini untuk mencegah praktek semena-mena (free fight liberalism) dalam penetapan biaya pendidikan oleh pengelola satuan pendidikan. Setelah pemerintah menetapkan tarif pendidikan sesuai dengan hasil akreditasi, maka pemerintah perlu mengeluarkan aturan yang berikutnya yang didasari prinsip: “yang mampu membayar, yang tidak mampu pemerintah berkewajiban memberikan bea siswa sejumlah tarif pendidikan yang telah ditetapkan”. 
Tidak seperti sekarang, yang mampu dapat mengenyam pendidikan yang baik dan bermutu, sementara yang tidak mampu, tidak terbantu atau hanya mengenyam pendidikan ala kadarnya. Jika prinsip, yang mampu membayar, yang tidak mampu diberikan bea siswa sejumlah tarif pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dijalankan, dan jika keuangan pemerintah memungkinkan, maka pemerintah dapat memberikan bea siswa kepada seluruh siswa atau mahasiswa se-Indonesia. Pada kondisi ini, maka penyelenggaraan pendidikan gratis dan bermutu dapat terselenggara.
Ketika sektor pendidikan telah dikatagorikan sebagai suatu entitas usaha, maka bantuan pemerintah tidak lagi semata-mata dalam bentuk hibah atau grant. Hibah atau grant dari pemerintah hanya diberikan semata-mata untuk bea siswa atau penelitian. Selain untuk bea siswa atau penelitian, bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada satuan pendidikan diberikan dalam bentuk pinjaman lunak (soft loan) atau penyertaan modal. Pinjaman atau penyertaan, lebih memiliki akuntabilitas bila dibandingkan hibah atau grant. Tidak seperti sekarang, pemerintah memberikan semua bantuan kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah atau grant, seperti: Imbal Swadaya, BOP (Biaya Operasional Pendidikan), BOS (Biaya Operasional Siswa), BOMM (Biaya Operasional Manajemen Mutu), Bantuan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dsb.
Bagaimana dengan status kepegawaian di satuan pendidikan negeri yang berbadan hukum PT Persero yang terbuka? Status kepegawaian di satuan pendidikan itu berstatus swasta, sama seperti satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola oleh swasta. Apabila pegawai atau karyawan di satuan pendidikan itu ingin mendapat pensiun, pihak pengelola satuan pendidikan tinggal menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan yang mengelola dana pensiun (DPLK). Mengapa di satuan pendidikan swasta yang telah dikelola dengan baik, mereka bisa menciptakan guru dan karyawan satuan pendidikannya betah bekerja? Bila motiv pemerintahnya adalah mengumpulkan suara melalui pengangkatan banyak PNS (termasuk guru-guru) baru, apalagi bila menjelang pemilu, maka reformasi birokrasi disektor pendidikan tidak akan pernah terwujud. 
Kemitraan antara sektor pemerintah dan sektor publik, dikenal dengan Public Private Parnership (PPP). Penerapan model Public Private Partnership ini akan dapat mereposisi peran pemerintah pada posisi yang strategis, yaitu sebagai regulator dan fasilitator. Sejatinya, model PPP bisa diterapkan hampir disemua sektor pelayanan publik. Bila model PPP ini diterapkan di Dirjen Pajak, maka kita akan bisa menyelamatkan banyak Gayus untuk menghindari praktek korupsi. (Jakarta, 5 April 2010)
*) Direktur LKPPI (Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia)


0 komentar:

Posting Komentar