Pages

Jumat, 02 Juli 2010

Prinsip Laba dan Nirlaba Catatan untuk Mendiknas Mohammad Nuh

Oleh: ADING SUTISNA*)

Dalam wawancaranya dengan wartawan Koran Jakarta, 9 Mei 2010, Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan,”prinsipnya kami tetap pegang kendali bahwa pendidikan itu harusnya nirlaba. Karena bila tidak dikunci nirlaba, pendidikan akan menjadi komoditas dan komersialisasi”. Kalimat diatas merupakan jawaban atas pertanyaan wartawan, ”Bagaimana kabar revisi UU Badan Hukum Pendidikan (BHP)?” Kemudian untuk pertanyaan wartawan selanjutnya ”Maksud nirlaba itu, PTN tidak boleh mencari untung dari usahanya?” Mendiknas menjawab,”bukan berarti mereka (PTN) tidak boleh menerima pemasukan, tapi hasil pemasukan harus direinvestasi untuk perkembangan kampus. Bukan dibagi-bagi ke stakeholders. Kedua, otonomi penting tapi harus dikawinkan dengan akuntabilitas, jadi harus diawasi.”

Membaca jawaban Mendiknas Mohammad Nuh seperti itu, timbul rasa ingin tahu saya untuk lebih mengetahui tentang pengertian istilah laba dan nirlaba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laba diartikan sebagai selisih lebih antara harga penjualan yang lebih besar dari harga pembelian atau biaya produksi. (KBBI, edisi ketiga,2001). Sedangkan T. Guritno mengartikan laba sebagai kelebihan di atas pengeluaran (Kamus Ekonomi-Bisnis-Perbankan, Gajah Mada University Press, 1992). Sedangkan Nirlaba diartikan (suatu kegiatan usaha) yang bersifat tidak mengutamakan pemerolehan keuntungan/laba (KBBI, edisi ketiga, 2001). 
Ketika mengingat istilah laba, saya juga teringat buku lama karya Peter F. Drucker, Manajemen: Tugas-TanggungJawab-Praktek, yang diterbitkan oleh Penerbit PPM bekerjasama dengan penerbit Gramedia, tahun 1978. Dalam buku tersebut Drucker menjelaskan betapa pentingnya laba dalam suatu organisasi usaha. Laba menurut Drucker, bukanlah suatu sebab melainkan suatu akibat dari karya perusahaan dalam kegiatan pemasaran, pembaharuan dan produktivitas. Laba adalah suatu akibat yang dibutuhkan, yang melayani fungsi ekonomis yang pokok. Laba adalah tes (alat ukur) dari kinerja, satu-satunya tes yang efektif. Selanjutnya Drucker menjelaskan, jika yang duduk di kursi direktur bukanlah usahawan, melainkan malaikat, maka mereka masih tetap harus menaruh perhatian pada kemampuan berlaba biarpun mereka itu sama sekali tidak mempunyai minat pribadi untuk mencari laba. Laba, dan hanya laba itu sajalah yang dapat menyediakan modal untuk menciptakan pekerjaan hari esok, dan supaya pekerjaan-pekerjaan itu makin banyak dan makin baik. Laba adalah bukti kemajuan ekonomi yang diperlukan investasi untuk menciptakan pekerjaan baru, dan pekerjaan tambahan yang semangkin berlipat ganda. Tidak ada alasan meminta maaf untuk pengutipan laba sebagai suatu keperluan ekonomi dan masyarakat. Sebaliknya pengusaha sudah seharusnya menyesal dan perlu meminta maaf bila ia gagal menghasilkan laba yang sesuai fungsi ekonomi dan sosial yang dapat dikembangkan oleh laba, dan hanya oleh laba. 
Demikian pentingnya laba dalam organisasi usaha, termasuk satuan pendidikan. Laba bagi sebagian besar pengusaha menjadi motiv dasar berusaha, dan hal itu sah-sah saja. Selain itu laba juga menjadi parameter usaha. Hal itu disampaikan oleh Dale D. McConkey. McConkey mengatakan, umumnya kita enggan menekankan perlunya efektivitas manajerial dalam sektor layanan publik. Ke-efektifan seolah-olah hanya perlu bagi para manajer sektor bisnis (murni). Tujuan perusahaan layanan publik dianggap sedemikian luhur dan mulia, sehingga akan merusak citra (niat/motivasi), jika kegiatan operasi perusahaan layanan publik menekankan efektifitas dan efisiensi. Tidak ada alasan bahwa perusahaan layanan publik harus tidak efektif dan efisien, harus mengabaikan produktivitas manajerial, harus meninggalkan motif “laba”. Perusahaan layanan publik harus memperoleh “laba” dengan beroperasi secara lebih efisien dan efektif demi mencapai prioritas yang tepat. Keuntungan perusahaan layanan publik, mungkin diberi cap yang berbeda, namun motif laba harus ada jika ingin menghindarkan pemborosan ekonomi dan sosial (McConkey, 1985). 
Apa yang dikemukakan oleh McConkey, saya melihatnya sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 48 ayat (1): Pengelelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Apa lagi di negara kita yang masih dililit praktek korupsi. Bagaimana mengukur efisiensi satuan pendidikan tanpa adanya laba? Saya menilai, apa yang diucapkan oleh Mendiknas Mohammad Nuh, bahwa pendidikan itu harusnya nirlaba, adalah salah satu bentuk penyeragaman. Pendapat itu bertentangan dengan pasal 48 ayat (1) UU Sisdiknas, dan bertentangan pula dengan prinsip-prinsip usaha.
UU BHP sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu dasar pembatalan UU BHP adalah penyeragaman badan hukum. Bila masyarakat memilih badan hukum yayasan sebagai penyelenggara pendidikan, maka berdasarkan UU Yayasan, maka yayasan dikelola dengan prinsip nirlaba. Bila masyarakat memilih badan hukum koperasi atau perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan, maka UU Koperasi dan UU PT menetapkan badan hukum usaha itu berprinsip laba. Apa Mendiknas tidak akan mengizinkan Koperasi dan PT sebagai penyelenggara pendidikan? Bila Mendiknas tidak mengizinkan, apabila ada anggota masyarakat yang ingin menyelenggarakan pendidikan dengan memilih badan hukum Koperasi atau PT, karena kedua badan hukum tersebut berprinsip laba, maka saya menilai sikap itu bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi WTO, dan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Badang Penanaman Modal. Masyarakat perlu dibebaskan untuk berusaha seluas mungkin, asalkan usahanya tidak bertentangan dengan undang-undang. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengatur agar kebebasan itu tidak menjadi “free fight liberalism”. Itu yang harus dikendalikan, bukan menyeragamkan badan hukum usaha dan prinsip-prinsip berusaha.
Saya menutup tulisan ini dengan beberapa kalimat yang perlu kita renungkan, saham adalah instrument pengendalian, laba adalah parameter kinerja, nirlaba adalah istilah yang enak didengar ditelinga, akan tetapi bila tidak hati-hati bisa menyesatkan. Kita jangan meniru orde baru dengan memilih kata-kata yang menipu. Kita masih ingat pada masa orde baru, APBN kita dikatakan menganut anggaran berimbang, bukan surplus atau defisit. Sebenarnya, bertahun-tahun APBN kita mengalami defisit. Dikatakan berimbang karena defisit-nya ditutupi oleh hutang luar negeri (Tanjung Priok, 9 Mei 2010) 
*) Direktur Lembaga Kajian Peningkatan Pendidikan Indonesia (LKPPI)
 



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mohammad Nuh perlu baca artikel ini sebelum jawab wawancara dari wartawan..

Hanya saja biang kerok UU BHP sudah 'turun' tahta tanpa ada pertanggungjawaban..

Indonesia adalah negeri nir-responsibilitas, termasuk rektor2 BHP/BHMN

Jangan-jangan benar BHMN = Bos Hanya Mikir Nasibnya sendiri...

Posting Komentar