Pages

Selasa, 06 Juli 2010

Komersialisasi Pendidikan

Oleh: ADING SUTISNA*)

   Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. “cap” komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.Sebenarnya, bukan sesuatu yang baru, bila ada yang berpendapat, segala sesuatu yang orang butuhkan dan untuk mendapatkannya orang rela untuk membayarnya adalah suatu kegiatan usaha (bisnis). Tidak peduli apakah yang mereka hasilkan itu barang atau jasa. Jean Baptiste Say (1767-1832), ekonom Prancis, sudah berpendapat seperti itu ratusan tahun yang lalu (George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, 1994, h.66). Jadi, tidak usah heran apabila saat ini sektor pendidikan dan beberapa sektor yang dulunya dianggap “menguasai hajat hidup orang banyak”, sekarang menjadi barang dagangan atau dikomersialisasikan. 
    Sejak awal pemerintahan orde baru, Indonesia sudah memilih sistem ekonomi pasar sebagai landasan pembangunan ekonomi. Sektor pendidikan dan beberapa sektor layanan publik lainnya yang telah ditempatkan sebagai sub sistem ekonomi, mau tidak mau telah terpengaruh cara kerja sistem ekonomi pasar. Dengan diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terlebih-lebih sejak pemerintah menerbitkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Komersialisasi sektor pendidikan terus ‘didorong’ oleh pemerintah melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan (ratification) Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam undang-undang tersebut sektor kesehatan dan sektor pendidikan telah ditetapkan sebagai industri jasa yang diperdagangkan. Pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu, dalam perundingan WTO di Hongkong, rencananya Pemerintah Indonesia akan (mungkin sudah) menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan, dan pendidikan tinggi (Warta Balitbang Depdiknas, Maret 2005).  
    Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, UU dan PP tentang Penanaman Modal diperbaharui dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Badang Penanaman Modal. Bila kita kaji dalam UU dan PP tentang Penanaman Modal yang baru itu, komersialisasi layanan publik, termasuk pelayanan pendidikan, semakin sah menjadi sektor jasa yang diperdagangkan.  
     Bagi para penyelenggara pendidikan swasta, menempatkan sektor pendidikan sebagai sektor usaha (bisnis), merupakan hal yang sudah biasa. Hal tersebut juga diakui oleh Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional yang saat ini menjabat sebagai Pengurus Majlis Pendidikan Muhamadiyah. Muhaimin mengatakan, “sebagai lembaga swasta, diakuinya tidak mungkin mengelola institusi pendidikan tanpa keuntungan ataupun merugi. Yang terpenting keuntungan itu harus dikembalikan untuk kepentingan pengembangan pendidikan, sehingga harus ada pasal dalam Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mencegah agar pendidikan tidak benar-benar komersial” (Kompas, 5/12/2006). Sekarang, yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Muhaimin di atas adalah, apa perlu menerbitkan UU hanya untuk mencegah agar pendidikan tidak benar-benar komersial?  
    Bila saja sejak orde baru pemerintah konsekwen dan konsisten menjalankan sistem ekonomi pasar, sektor pendidikan kita, terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah, tidak setertinggal seperti sekarang ini, dibandingkan dengan kinerja dan mutu pendidikan di beberapa negara tetangga. Bila pendidikan di negara-negara tetangga sudah berorintasi, bagaimana meningkatkan mutu agar lebih baik dibandingkan negara-negara maju, sementara kondisi pendidikan nasional kita masih berkutat pada masalah-masalah yang paling mendasar, seperti banyaknya bangunan sekolah−yang mayoritasnya adalah sekolah-sekolah negeri−yang roboh, angka putus sekolah yang tidak juga semangkin menurun. Pada hal penyebabnya sudah diketahui, bahwa semua itu terjadi karena selama ini penyelenggaraan pendidikan kita dilakukan secara sentralistis, yaitu dilakukan oleh pemerintah dengan jajaran birokrasinya {Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), 2001}, dan pengelolaan satuan pendidikan−terutama satuan pendidikan yang dikelola pemerintah−yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah yang mayoritasnya tidak amanah. Negara kita bukan negara komunis, akan tetapi cara penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional kita, seperti halnya di negara-negara komunis, dimana birokrasi pemerintah sangat menentukan kinerja sektor pendidikan. 
     Dari sisi good governance, sejak orde baru sampai dengan saat ini, di sektor pendidikan dan beberapa sektor publik lainnya, pemerintah masih merangkap berbagai peran. Birokrasi pemerintah berperan sebagai regulator, sekaligus berperan sebagai fasilitator, berperan sebagai operator, dan juga berperan sebagai pengawas (supervisor), dan auditor. Perangkapan peran itu, menurut Tanri Abeng (1999) telah menimbulkan konflik kepentingan, yang secara simultan melumpuhkan pengembangan kompetensi untuk bersaing secara global. 
     Meski tidak sama persis, fenomena menurunnya kualitas pendidikan kita, terutama satuan pendidikan yang dikelola pemerintah, sama seperti menurunnya kualitas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah di Amerika Serikat. Seperti yang dituturkan oleh Osborn (1992), fenomena pendidikan di Amerika sampai dengan tahun 90-an, kualitas pendidikan yang diselenggarakan swasta semakin berkembang, sementara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kualitasnya semakin menurun. Sekolah-sekolah negeri di Amerika bersifat hampir monopoli, tidak ada standar prestasi dan sedikit kompetisi baik di dalam sistem maupun di luar sistem (Peter F.Drucker, 1988). Lembaga pendidikan negeri di Amerika adalah contoh klasik dari model birokrasi-terpusat. Digerakan oleh peraturan. Masing-masing sekolah adalah sebuah monopoli. Tidak ada pekerjaan yang tergantung pada prestasi. Hasil dari penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan yang sentralistis dan terpusat itu telah membuahkan hasil. Tingkat putus sekolah di seluruh Amerika pada tahun 1990 lebih tinggi dari pada tahun 1980. Nilai pada dua ujian utama untuk masuk perguruan tinggi (SAT dan ACT) hanya naik 1,5 % antara tahun 1982 dan 1987. Prestasi siswa Amerika berada pada pringkat paling buruk di tahun 1990 bila dibandingkan prestasi siswa di negara-negara maju lainnya (David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1992, h.348).  
     Mengambil pelajaran dari masa lalu, dan dari negara lain. Resepnya sudah jelas, bila ingin meningkatkan kinerja dan mutu pendidikan nasional, jadikan sektor pendidikan sebagai sektor komersial. Tanggalkan prilaku yang hipokrit atau pseudo sosial (berkedok sosial), yang sering mengatakan bahwa pendidikan berprinsip nirlaba, padahal prakteknya berorintasi kepada laba atau sektor pendidikan adalah sektor sosial, padahal prakteknya adalah sektor bisnis (Tooley dan Dizon, 2003). Dengan didasari paradigma usaha, maka efisiensi, efektifitas, dan produktivitas sektor pendidikan dapat ditingkatkan. Kalau kita ingin menjadikan pendidikan nasional dapat bersaing di era global, hal itu merupakan suatu keniscayaan. Peran pemerintah dalam era itu tidak dinihilkan. Pada era itu justru, pemerintah harus mengambil peran yang semakin strategis dan fokus, yaitu sebagai katalis pembangunan.                                                 (Tanjung Priok, 9 Desember 2006)                                                                                                              

*) Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia

1 komentar:

Edukasi Online mengatakan...

Makasih atas infonya...

Posting Komentar