Pages

Rabu, 28 Juli 2010

Masa Depan Satuan Pendidikan Negeri

Oleh: ADING SUTISNA*)
     Sekolah negeri, begitu juga Perguruan Tinggi Negeri/PTN (dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional disebut Satuan Pendidikan Negeri) adalah peninggalan sistem sentralisme negara dalam penyelenggaraan dan layanan pendidikan. Dalam sistem ini, pemerintah melalui para birokrat merangkap banyak peran. Berperan sebagai regulator, merangkap sebagai fasilitator, merangkap operator, juga merangkap sebagai supervisor. Akhirnya, seperti kata teman saya, birokrat akan kreatif berperan sebagai koruptor.
     Sentralisme dalam layanan pendidikan oleh pemerintah, ternyata bukan hanya monopoli negara-negara komunis. Amerika Serikat sebagai negara kampiun kapitalisme, ternyata sampai tahun 80-an masih melakukan sentralisme dalam layanan pendidikan. Pemerintah Amerika, baru pada era pemerintahan Presiden Ronald Regen yang berani melakukan reformasi birokrasi layanan publik termasuk di sektor pendidikan (Osborne, 1999). Dan langkah tersebut, sampai saat ini masih mendapat tantangan keras dari sejumlah birokrat (Lambsdorff, 2004). Wajar, apabila para birokrat, terlebih-lebih birokrat yang tega mengorbankan kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadi, menghambat proses reformasi itu. Karena dalam sistem sentralisme pelayanan publik, mereka banyak mendapatkan fasilitas khusus atas nama rakyat.
     Dalam teori kebijakan publik, penyelenggaraan dan pengelola pendidikan oleh pemerintah bertujuan agar pendidikan dapat dinikmati oleh rakyat seluas mungkin. Tetapi itu dulu. Sekarang, ketika praktek korupsi telah demikian meluas dan mendalam. Sentralisasi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menjadi katalis praktek korupsi. Karena praktek korupsi yang terus dibiarkan di lingkungan birokrasi pendidikan, maka hal itu berpengaruh pada kinerja satuan pendidikan negeri. Kita tidak usah menunggu masa yang akan datang. Saat ini saja kita bisa melihat kinerja dan mutu satuan pendidikan negeri semangkin tertinggal bila dibandingkan satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola swasta yang setara. Saat ini, kita mendapatkan banyak satuan pendidikan swasta yang dikelola dengan baik, mutunya lebih baik, menawarkan biaya pendidikan yang lebih murah bila dibandingkan satuan pendidikan negeri. 
     Dalam hal partisipasi sekolah. Sekolah-sekolah negeri yang terus menerus dipimpin oleh kepala sekolah yang korup, dengan kepala dinas pendidikan dan kepala daerah yang juga korup, akan semangkin memarginalisasi banyak siswa miskin. Jika pada awalnya, penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah bertujuan untuk memperluas partisipasi rakyat atas pendidikan. Maka saat ini, secara faktual satuan pendidikan negeri “dimiliki dan dikuasai” oleh para birokrat pendidikan. Kinerja dan mutu satuan pendidikan negeri seluruhnya tergantung pada kebaikan hati para birokrat. Bila pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola swasta reward and punishment bisa berjalan baik, maka pada satuan pedidikan negeri reward and punishment baru dapat berjalan atas kebaikan hati kepala daerah, kepala dinas, dan para kepala sekolah. Para kepala sekolah negeri, karena mereka diangkat dan diberhentikan oleh kepala dinas, maka loyalitas dan tanggunggugat mereka hanya kepada kepala dinas. Hal ini diakui oleh Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas RI (1999). 
     Bila ada kepala sekolah di sekolah negeri memiliki tanggunggugat (akuntabilitas) kepada para siswa dan para orang tua, maka hal itu terjadi karena beberapa hal: pertama, memang kepala daerahnya memiliki komitemen kuat memajukan pendidikan di daerahnya, dan dia pro kepada otonomi sekolah. Bila hal ini terjadi, biasanya kepala dinas pendidikan akan mengikuti irama kepala daerah. 
     Kedua, bila kepala daerahnya kurang begitu peduli kepada pendidikan, akan tetapi kepala dinasnya memiliki komitmen untuk memajukan pendidikan, maka tanggunggugat kepada para siswa dan para orang tua siswa dari para kepala sekolah negeri masih bisa ditumbuhkan. 
     Dan yang ke-tiga, jika kepala daerah dan kepala dinas pendidikan sama-sama tidak memiliki komitmen memajukan pendidikan maka, tanggunggugat bisa ditumbuhkan atas inisiatif dan kebaikan hati kepala sekolah. Banyak kasus, jika hal ini terjadi maka kepala sekolah yang masih memiliki komitemen tersebut, tidak akan lama menjadi kepala sekolah, dia akan diberhentikan karena dianggap tidak bisa melayani atasannya. Dalam iklim sentralisme pendidikan oleh pemerintah, maka kualitas pendidikan negeri sangat bergantung kepada kebaikan hati para birokrat dan politisi. 
     Seperti juga India, Indonesia pada era orde lama pernah memakai sosialisme sebagai dasar pembangunan ekonomi. Komersialisasi dan profitisasi layanan publik, termasuk sektor pendidikan adalah suatu hal yang diharamkan. Di India, seperti yang diwartakan oleh V.J Rao (2001), secara de jure Badan Legislatif dan Pemerintah India melarang komersialisasi dan profitisasi pendidikan. Tetapi secara de facto , larangan hukum tidak meresap pada sikap nyata di sekolah-sekolah, kecuali pada laporan mereka ke para penilik sekolah, setelah mereka membayar suap yang terkait dengan hal itu (Tooley dan Dizon, 2003). Temuan bahwa sekolah-sekolah beroperasi dengan kepentingan komersial, misalnya telah disampaikan oleh pejabat senior pemerintah India: “Semua institusi menghasilkan profit.....Kami tidak bersikukuh dengan peraturan dan undang-undang, kami sangat fleksibel, dan semua institusi menghasilkan keuntungan. Kami mebiarkan mereka” (Tooley, 2003). Hasil penelitian Tooley dan Dizon di India, menunjukan bahwa sekolah-sekolah pada umunya secara de facto beroperasi sebagai badan komersil bertujuan profit. 
     Di Indonesia, pemerintah masih malu-malu menyatakan secara terus terang ingin melakukan liberlisasi dan komersialisasi pendidikan. Secara de jure dan tidak konsisten pemerintah telah menetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan berprinsip nirlaba, hal ini dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 53. Padahal faktanya, pendidikan telah menjadi sektor jasa yang diperdagangkan, dan hal tersebut telah dilegalkan oleh pemerintah sejak tahun 1967, yaitu sejak diterbitkannya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam UU itu, sektor pendidikan bukan lagi bidang/sektor yang dikatagorikan sebagai bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak. 
     Komersialisasi pendidikan terus di dorong oleh pemerintah melalui penerbitan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam undang-undang tersebut sektor pendidikan telah ditetapkan sebagai industri jasa yang diperdagangkan. Pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu, dalam perundingan WTO di Hongkong, rencananya Pemerintah Indonesia akan menawarkan, mungkin saat ini sudah ditawarkan, liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan, dan pendidikan tinggi (Warta Balitbang Depdiknas, Maret 2005). Dari sini kita bisa melihat ambilvalensi dan ketidakkonsistenan pemerintah dan DPR dalam menyusun regulasi yang menjadi dasar kebijakan pendidikan. Sudah bisa diduga, masa depan satuan pendidikan negeri akan kehilangan profesionalismenya jika korupsi di sektor pendidikan tidak diberantas dan dicegah (Tanjung Priok, 25 Februari 2009).


0 komentar:

Posting Komentar