Pages

Minggu, 15 Agustus 2010

PIKIRAN DAN PERILAKU

Oleh: ADING SUTISNA*)

“Apa yang dipikirkan manusia, itulah yang mempengaruhi seluruh keyakinan dan prilakunya” (Malik Badri)


Pikiran:
Seperti yang diungkapkan Prof. Malik Badri, Guru Besar Psikologi Universitas Khartoum, banyak pakar dalam bidang psikologi dan psiatri, memiliki pendapat tentang besarnya pengaruh pikiran manusia terhadap prilakunya. Pikiran yang “sehat” akan memengaruhi prilaku atau tindakan yang “sehat”. Sejarah telah membuktikan, banyak bencana, seperti halnya perang dunia, disebabkan oleh pikiran “sesat” pemimpin. Demikian besarnya pengaruh pikiran terhadap prilaku sesorang dan masyarakat, semua orang telah mengetahui. Akan tetapi, ketika ditanyakan, “Apakah yang dimaksud dengan pikiran?”, tidak setiap orang akan mudah menjawabnya. Walau pikiran tidak berbentuk materi atau benda yang dapat dilihat secara kasat mata. Akan tetapi setiap orang mengakui bahwa, pikiran itu ada dan nyata.
Untuk mengetahui apa itu pikiran? Dan bagaimana kaitannya dengan tindakan. Ada baiknya, saya mengutip apa yang sudah pernah ditulis oleh Anand Krishna (1999). Krishna membedakan istilah (term) thought dengan mind untuk pikiran. Menurut Krisna, thought adalah pikiran, sedangkan mind adalah kumpulan pikiran. Untuk memudahkan pengertian antara thought dengan mind, Krishna memberi contoh: Ketika kita melihat sesuatu—jam tangan mahal—apa yang terjadi? Muncul thought, “wah jam tangan itu indah”. Muncul lagi thought kedua, “ Kira-kira berapa ya harganya? Selanjutnya muncul thought ketiga, “Coba tanya harganya.” Setelah mengetahui harganya, muncul thought lagi “Uh mahal amat harganya.” Akumulasi dari berbagai macam thoughts yang saling berkaitan ini melahirkan mind. Mind menciptakan keinginan. Keinginan akan memicu tindakan (Anand Krishna, Seni Memberdayakan Diri I, 1999, h. 55).
Bila Krisna memahami thought adalah pikiran, dan kumpulan thoghts adalah mind, maka tidak jauh berbeda apa yang juga dikemukakan oleh Ibnu Qayim (1344 H). Ibnu Qayim mengartikan thought sebagai “lintasan-lintasan”. Bila setelah thought pertama muncul, dan kita tidak memberi kesempatan thought kedua, ketiga dan thought selanjut muncul, maka kita tidak akan pernah terseret oleh permainan pikiran. Bila tidak ada akumulasi thoughts, maka tidak akan ada mind. Dan bila tidak ada mind, maka tidak aka ada keinginan. Dengan uraian yang serupa Ibnu Qayim dalam Al-Fawaid mengemukakan,”Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu. Jika tidak ia akan menjadi syahwat (xxxx). Lawanlah syahwat itu. Jika tidak ia akan menjadi azimah (hasrat). Apabila ini tidak juga dilawan, ia akan menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu, tidak ditemukan lawannya, maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagi kita meninggalkannya.”
Para ahli ilmu syaraf (neurolog) mengartikan pikiran sebagai suatu hasil proses yang berkaitan dengan dengan aktivitas otak dengan memanfaatkan koordinasi panca indra (Suwardi Tanu, h.3). Dalam otak kita sesungguhnya ada beberapa sistem yang terus-menerus bekerja, yaitu Sistem Sensoris (sistem sel-sel syaraf penerima rangsangan yang diterima oleh panca indra), Sistem Motorik (sistem sel-sel syaraf yang bertugas memerintah dan menggerakan bagian-bagian atau organ-organ tubuh), dan Sistem Asosiasi (sistem sel-sel syaraf yang menghubungkan atau menggabungkan segala sesuatu yang diperoleh dari apa yang dilihat, dialami, atau diingat. Ketiga sistem ini bekerja di otak, yaitu pada pada dan dalam lapisan Cortex, yang terdiri dari ratusan juta sel (Dr. Setiawan dalam Anand Krishna, Ilmu Medis dan Meditasi, 2000, h.13).

Perilaku:
Dalam al-Qur’an istilah (term) Nafs memiliki banyak arti. Nafs dapat diartikan sebagai: jiwa (soul); pribadi (person); diri (self atau selves); hidup (Life); hati (heart); pikiran (mind). Nafs, bisa juga diartikan sebagai pengertian yang sudah umum, dan bersifat pejoratif yaitu: nafsu atau Hawa Nafsu {(hawa al-nafs yang memiliki arti: keinginan diri (sendiri)}. Masyarakat sering memberikan arti “hawa nafsu” berkonotasi negativ. Hal itu tidak sepenuhnya keliru, karena “keinginan diri sendiri” itu memang tidak selamanya baik. Bila nafs diartikan sebagai “hawa nafsu”, al- Qur’an menjelaskan ada dua kemungkinan pada nafsu:
- “Hawa Nafsu” yang mendorong kepada keinginan-keinginan rendah atau disebut juga al-nafs Ammarah,
- dan ada “Hawa Nafsu” yang mendorong kepada kebaikan atau disebut juga al-nafs Muthmainah.
Karena “hawa nafsu” juga mendorong kepada keinginan-keinginan rendah, agama mengajarkan agar kita memerangi dan mengalahkan “hawa nafsu” yang condong kepada keinginan-keinginan rendah. Namun, disamping ada “hawa nafsu” yang mendorong kepada keinginan-keinginan rendah, dalam diri manusia, terdapat “hawa nafsu” yang mendorong manusia kepada keinginan-keinginan baik (fitrah) atau ke arah kebaikan. Al-Qur’an menjelaskan, “hawa nafsu” yang dapat mendorong manusia ke arah kebaikan, yaitu hawa nafsu yang diberi rahmat Allah SWT. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana agar hawa nafsu dapat diberi rahmat oleh Allah SWT?
Sebelum memberi jawaban atas pertanyaan di atas, para ulama menjelaskan bahwa, kita harus lebih dahulu mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya keinginan-keinginan diri (hawa al-nafs) yang mendorong diri pada keinginan-keinginan rendah. Para neourologis (ahli syaraf) menjelaskan, keinginan-keinginan diri (hawa al-nafs) timbul karena adanya informasi baru yang sampai ke otak, maupun informasi lama yang telah terekam lama (atau bahkan yang sangat lama) di dalam otak. Informasi baru ditangkap oleh panca indra, terkirim melalui sistem syaraf, diteruskan ke otak, dan diolah oleh berbagai bagian otak. Proses informasi itu sedemikian cepatnya. Para ulama klasik, seperti Ibnu Qayim, mengartikan informasi pada waktu itu sebagai “lintasan-lintasan” (dalam bahasa Arab disebut sebagai: khawatir). Ibnu Qayim menjelaskan, pikiran (afkar) terbentuk karena adanya lintasan (khawatir). Kemudian pikiran membentuk motif (dafi’) atau keinginan. Jika motif atau keinginan bertambah kuat, maka akan mengejawantah dalam bentuk tindakan, dan apa bila tindakan itu dilakukan berulang kali, maka akan menjadi kebiasaan (Malik Badri, 2001, h.49). Selanjutnya Ibnu Qayim menjelaskan, manusia tidak diberi kekuatan untuk mematikan lintasan, karena ia menyerang manusia dari dalam dirinya. Hanya karena kekuatan iman (nurani) dan akal-lah (al-nafs lawwamah) yang mampu menolong untuk menyeleksi lintasan yang baik dan buruk. Ibnu Qayim selanjutnya mengatakan, bahwa agar lintasan, maupun yang telah mewujud dalam bentuk pikiran, tetap berada dalam bingkai kebaikan. Beliau menyarankan agar manusia senantiasa ber-zikir. Hanya dengan ber-zikir yang mengantarkan manusia untuk meningkatkan kesadaran dirinya, manusia baru dapat mengendalikan lintasan atau pikiran yang akan mengdorong manusia ke arah kebaikan.
Al-Ghazali (450 H s/d 505 H) berpendapat, mengendalikan lintasan atau pikiran melalui zikir harus dilakukan melalui latihan (riyadhah) yang sifatnya terus-menerus. Awalnya, dengan memaksakan diri (takalluf). Latihan yang pada awalnya dilakukan dengan memaksakan diri, jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya akan menjadi kebiasaan. Jika telah menjadi kebiasaan, maka hal itu menunjukan adanya hubungan antara jiwa dengan raga. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, Zikir yang bagaimana yang dapat meningkatkan kesadaran diri?
Anand Krisna, seperti halnya Van Peursen berpendapat, karena “lintasan” dan pikiran berhubungan dengan nafas, maka bila ingin mengendalikan “lintasan” atau pikiran, maka kita harus bisa mengendalikan nafas. Para pskiater mengatakan, orang yang banyak pikiran, ritme nafasnya tidak teratur. Maka resep praktis untuk mengendalikan “lintasan” atau pikiran menurut Krisna, duduklah dengan tenang, santai. Pejamkan mata. Cobalah bernafas melalui hidung. Jangan melalui mulut. Pikiran kita, kita arahkan ke lobang hidung kita. Perhatikanlah ketika kita menghirup dan mengeluarkan udara melalui lubang hidung kita. Lakukanlah hal itu selama beberapa menit. Maka, kita rasakan pikiran kita menjadi lebih tenang. Ritme nafas kita menjadi lebih teratur. Cara itu akan lebih efektif bila, hal itu kita lakukan bukan hanya memperhatikan ke luar-masuknya udara melalui lubang hidung kita, tetapi melalui pernafasan sempurna yang dibarengi dengan zikirullah (mengingat Allah). Pernafasan sempurna, adalah pernafasan yang memainkan ritme rongga perut. Bila hal itu dilakukan secara disiplin, maka lintasan dan pikiran dapat kita kendalikan.
Seperti kata para ulama, “sesungguhnya apa yang dipikirkan manusia itulah yang memancarkan pengaruh terhadap seluruh keyakinan dan prilakunya” (Malik Badri, h.41). Maka menurut hemat penulis, upaya untuk meningkatkan kesadaran diri, hanya dapat dilakukan apabila kita bisa mengendalikan “lintasan” atau pikiran melalui latihan (riyadha) pengendalian “lintasan” atau pikiran secara disiplin dan kontinyu, Bila hal itu kita lakukan dengan disiplin dan kontinyu, maka manfaatnya akan bisa kita rasakan. Kita menjadi lebih sehat, bukan hanya jasmani kita yang sehat, akan tetapi emosi kita menjadi lebih positiv. Dan cara itu akan lebih efektif apa bila disertai dengan zikir (mengingat) Allah SWT. Latihan mengendalikan “lintasan” atau pikiran melalui latihan (riyadha) oleh nafas yang disertai zikir kepada Allah, akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar, karena bukan hanya jasmani kita yang sehat, emosi kita yang lebih positiv, akan tetapi latihan tersebut juga akan meningkatkan spiritualitas kita. Dari uraian di atas maka kita, dapat mengambil hikmah, mengapa Allah SWT mewajibkan kita untuk melakukan Sholat dan Zikir.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat Aku” {Q.s. (20) Thaha:14}

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, pikiran menjadi tentram” {Q.s. (13) Ar Ra’d: 28}

Para ahli, sudah lama mengetahui ada keterhubungan antara nafs (dalam arti pikiran) dengan nafas. Menurut Van Peursen, setelah nafas hidup ditiupkan ke dalam badan manusia, maka timbulah jiwa. (C.A. Van Peursen: Tubuh, Jiwa, Roh; 1981). Apa yang diuraikan oleh Van Person, mengingatkan kita pada tiga ayat dalam al-Qur’an, yaitu: Q.s. al-Sajadah: 7-11; Q.s. Shad:72; Q.s. al-Hijr:28-29. Kesemua ayat-ayat yang dipaparkan di atas menceritakan tentang roh yang ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Keterangan lebih lengkap tentang hal tersebut disampaikan dalam Q.S. al-Sajadah: 7-11
Dari ayat tersebut di atas diperoleh keterangan bahwa manusia yang hidup di dunia ini terdiri dari jasmani, dan baru hidup menjadi manusia yang utuh setelah ditiupkan roh kedalam tubuhnya. Jika roh itu dicabut atau tidak ada, maka manusia akan mati. Akan tetapi, kelak manusia secara utuh akan dihidupkan kembali. Dari ayat tersebut di atas, (terkesan) bahwa setelah roh ditiupkan maka manusia lalu bisa mendengar, melihat, dan merasakan sesuatu. Roh sama dengan Jiwa, perbedaannya, Jiwa adalah Roh yang telah mempribadi atau Roh yang telah masuk kedalam Raga {tubuh, termasuk padanya otak (brain)}. Jiwa sangat bergantung pada Raga {tubuh, termasuk padanya otak (brain)}, sedangkan Roh tidak bergantung pada Raga. Jiwa menjadi tiada jika Raga tiada. Roh tetap ada, walau Jiwa tiada (Hendrawan Nadesul dalam Kata Pengantar, Memahami Otak, 2003). Dalam al-Qur’an, manusia sering disebut juga sebagai Jiwa (lihat: Q.s. al-An’am:151).
Apakah ada hubungan antara Ruh dengan Nafas?
Dalam menafsirkan Q.s.15 al-Hijr:28-29, Syaikh Hakim Mu’inuddin Chisyti menjelaskan, Allah menggunakan kata nafas untuk nafas dari-Nya, dan menggunakan kata Ruh untuk Ruh dari-Nya. Hal ini memperkuat fakta bahwa manusia berasal dari Allah, milik Allah, untuk Allah, dan pada akhirnya akan kembali kepada Allah (Penyembuhan Cara Sufi, h.189). Ruh memiliki hubungan dengan nafas. Setelah nafas hidup ditiupkan ke dalam badan manusia, maka timbulah jiwa (C.A. Van Peursen, 1981), Tanjung Priok, 5 Januari 2007.
Wawlahu a’lam bis-showab.
*) Pengurus Majlis Taklim NURUT TAQWA


0 komentar:

Posting Komentar