Pages

Sabtu, 28 Agustus 2010

Para Pengemudi Pikiran

Oleh: Sarah Wardhani

Dec 26, '07 5:45 AM

Pikiran kita terisi oleh sejumlah imagi, suara, warna, rasa, corak, aroma, deretan aksara dan angka-angka yang dirangkaikan dalam sebuah mesin bernama otak yang kemudian memberikan suatu perintah untuk melakukan perilaku. Bukan hanya manusia, hewan dari tingkatan tertinggi seperti kera sampai organisme hidup terkecil dianugerahi insting untuk membuat suatu pilihan-pilihan perilaku berdasarkan kapasitasnya masing-masing dalam berfikir dan bertindak. Sudah hukum alam bahwa mereka yang lebih tangguhlah yang dapat mengemudikan diri dan keadaan. Mereka pula yang akan lebih bertahan hidup dan menjadi pengontrol keadaan tersebut. 

Belum lama, ilmuwan dari Oxford telah menemukan sebuah tipe parasit yang menginfeksi tikus. Parasit yang bernama Toxoplasma gondii (T. gondii) ini tidak menyakiti tikus, tetapi membunuhnya secara tidak langsung dengan mengontrol pikiran tikus! Bagaimana bisa sebuah parasit yang hanya berdiameter sekitar 10 - 20 micrometer dapat menjadi pengemudi seekor tikus dengan berat badan sekitar 200 gram? Bagaimana pula sebuah parasit tanpa struktur otak dan sistem saraf bisa mempengaruhi seekor tikus yang notabene memiliki otak? 

Kondisi ini membuat para ilmuwan di bidang neurology, parasitologi dan psikologi beramai-ramai melakukan riset untuk menelusuri mekanisme dan pembuktian hipotesa atas sebuah parasit yang dapat mempengaruhi mamalia berstruktur otak mirip manusia. Adalah Stibbs. H dalam jurnal annals of tropical medicine and parasitology yang melaporkan bahwa T. gondii meningkatkan kadar dopamin dalam otak tikus, sehingga dengan suatu mekanisme seluler yang sampai saat ini belum diketahui, mengemudikan pikiran tikus dengan merubah perilaku tikus menjadi tidak takut terhadap kucing sehingga meningkatkan probabilitas tikus tersebut untuk dimakan kucing.

Tikus yang normal mempunyai kemampuan untuk mendeteksi bau air seni kucing dan dengan sangat hati-hati menghindari area-area yang dilalui oleh kucing. Mereka sangat sensitif terhadap bau ini sehingga ilmuwan seringkali menggunakan air seni kucing untuk mengetes reaksi panik tikus. T. gondii mengemudikan pikiran tikus bukan hanya dengan membuat tikus menjauhi bau air seni kucing, namun juga membuatnya mendekati bahkan mencari area-area dimana air seni kucing berada. Keadaan ini tentu saja tidak akan menguntungkan bagi tikus, namun bagi T. gondii tikus merupakan suatu inang perantara untuk kemudian melangsungkan siklus hidupnya di usus kucing.

Sebagai bagian dari siklus hidupnya, T. gondii ini menyusuri saluran pencernaan kucing. dan hidup di dalamnya. Untuk menginfeksi inang lain, T. gondii keluar bersamaan dengan feses kucing. T. gondii dalam bentuk oosit dapat bertahan hidup beberapa tahun dalam lingkungan luar dan resisten terhadap banyak desinfektan. Oosit melanjutkan siklus hidup di inang selanjutnya seperti burung, anjing, babi, domba dan manusia. Oosit di tubuh manusia berubah bentuk menjadi tachyzoid yang kemudian bermigrasi ke otot dan otak. T. gondii juga dapat hidup dalam jaringan-jaringan lain seperti nodus limfa, retina, miokardium paru-paru dan hati. Ketika sistem imun tubuh turun, T. gondii dapat memperburuk kondisi tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit. Disamping itu, sudah lama diketahui bahwa T. gondii dapat mengakibatkan keguguran pada janin dan cacat kongenital. Parasit ini mampu melewati plasenta wanita hamil, menyerang sistem kekebalan tubuh bayi yang belum sempurna dan merusak secara permanen sistem saraf pusatnya. Hal ini dapat menyebabkan kebutaan bahkan sampai membunuh cabang bayi. 

Riset tentang T.gondii yang dilakukan para ilmuwan selanjutnya berdasarkan pada pertanyaan, jika T. gondii dapat mengontrol pikiran tikus, bagaimanakah efeknya pada manusia? Para ilmuwan menaruh perhatian dalam hal ini mengingat otak tikus dan otak manusia mempunyai banyak persamaan disamping neurotransmitter yang mempengaruhi perilaku tikus dan manusia juga tidak berbeda. JG Montoya et al., (Juni 2004) memberitakan bahwa lebih dari sepertiga populasi penduduk dunia membawa parasit Toxoplasma dalam tubuhnya. National Health and Examination Survey US (2004-2005) menemukan bahwa 33.1% dari penduduk US di atas 12 tahun terdeteksi memiliki Toxoplasma-specifik IgG antibody dalam tubuhnya (Jones JL et al, nov 2003). Di Perancis, sekitar 88% penduduknya adalah carrier, di Jerman, Belanda dan Brazil, prevalensinya masing-masing sekitar 80%, lebih dari 80% dan 67%. Di Inggris, sekitar 22% carrier, di Jepang 7%, sedang di Korea utara hanya 4,3% penduduknya terinfeksi parasit ini (Nguyen T et al. 1994, Jones et al. 2001).

Jaroslav Flegr, parasitologist dari universitas Charles di Prague, memberitakan pengaruh parasit Toxoplasma terhadap ibu hamil. Ia menganalisis clinical record 1803 bayi yang lahir dari ibu hamil yang sebelumnya telah terinfeksi T. Gondii laten. Ditemukan adanya peningkatan probabilitas kelahiran bayi laki-laki lebih besar daripada bayi perempuan. Diduga probabilitas kelahiran bayi laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh kadar antibody di dalam tubuh ibu. Hal ini menjadi mungkin karena toxoplasmosis yang diasosiasikan dengan imunosupresi dan imunomodulasi sepertinya dapat meningkatkan ketahanan embrio laki-laki. Di jurnal yang lain, Flegr mencoba melakukan pengukuran menggunakan 16PF questioner dan Cloninger`s TCI kepada orang-orang yang positif terinfeksi Toxoplasma. Ditemukan adanya perbedaan respon lokomotor/gerak dari mereka yang terinfeksi dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. 

Studi lain memberitakan mengenai kaitan antara toxoplasmosis dengan insiden kecelakaan. Ditemukan bahwa insiden kecelakaan yang terjadi di wilayah Prague, Czech Republic, dialami oleh orang-orang yang terinfeksi Toxoplasma 2.65 lebih besar (C.I.95= 1.76-4.01) daripada orang-orang yang tidak terinfeksi Toxoplasma. Diduga Toxoplasma mengakibatkan melambatnya respon tubuh terhadap suatu rangsang/reaksi (Havlicek et al 2001). Jika ada data yang lebih banyak dan mencakup insiden di wilayah yang lebih luas, serta memasukkan berbagai parameter seperti genetika, jenis kelamin, dan keadaan iklim (Toxoplasma lebih bertahan hidup di iklim tropis), kaitan antara toxoplasmosis dengan insiden kecelakaan bisa menjadi suatu indikasi bahwa toxoplasma termasuk salah satu parameter yang patut diperhitungkan bahaya latennya.

Lain halnya dengan Dr. E. Fuller Torrey (Associate Director Laboratory Research Stanley Medical Research Institute). Meningkatnya kadar dopamin pada tikus, yang mempengaruhi perilaku tikus membuatnya membuat sebuah korelasi antara Toxoplasma dan schizophrenia pada manusia. Ia melaporkan bahwa infeksi T. gondii diasosiasikan dengan kerusakan astrocytes, glial cells yang mengelilingi dan menyuplai makanan pada sel saraf. Tikus terinfeksi T. gondii yang diberikan sejumlah obat penenang (antipsikosis) yang biasa diberikan kepada pasien schizophrenia, mengalami peningkatan perilaku ketakutan akan air seni kucing. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa adanya kemiripan mekanisme antara penyakit schizophrenia dengan penyimpangan perilaku penderita toxoplasmosis. 

Ditemukan pula wanita hamil dengan kadar antibodi yang tinggi terhadap toxoplasma, akan berkecenderungan melahirkan anak yang probabilitas mengidap schizophrenianya lebih tinggi. Penelitian pada sel manusia terinfeksi Toxoplasma yang ditaruh di dalam cawan petri, berespon terhadap haloperidol (obat antipsikotik untuk mengobati schizophrenia) dan terbukti dapat menghentikan pertumbuhan toxoplasma. Penelitian-penelitian ini menyokong hipotesis bahwa abnormalitas neurotransmitter dopamin memegang peran penting dalam toxoplasmosis, disamping memberikan suatu jalan alternatif untuk kombinasi pengobatan toxoplasma menggunakan obat dengan struktur molekul serupa dengan beberapa obat schizophrenia. 

Studi terhadap tikus yang terinfeksi T. gondii menyediakan beberapa kemungkinan atas pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Walaupun mekanisme modifikasi tingkah laku masih sangat bervariatif, namun meningkatnya kadar dopamin dalam otak tikus yang terinfeksi T. gondii memberikan kemungkinan bahaya laten pada manusia yang terinfeksi T. gondii. Studi dilakukan pada manusia yang didiagnosis Toxoplasmosis selama 14 tahun menggunakan metode Cattell's 16 PF questionnaires. Observasi ini dilakukan pada 230 orang wanita terinfeksi laten toxoplasma dibandingkan dengan wanita normal (Flegr et al 2000). Penelitian dilakukan 27-78 bulan setelah test serologis toxoplasma pertama positif terdeteksi. Beberapa faktor yang dinamakan A (affectothymia), G (kekuatan superego tinggi), H (parmia), dan L (protension) diuji. Hasilnya menunjukkan korelasi antara durasi toxoplasmosis, faktor G (kekuatan superego tinggi) dan Q3 (sentimen diri yang tinggi). 

Orang yang terinfeksi Toxoplasma cenderung lebih extrovert dan sedikit kurang peduli terhadap keadaan sosial. Wanita yang terinfeksi akan memiliki tingkat intelegensia yang meningkat, lebih hangat and easy-going, sedangkan pria yang terinfeksi menunjukkan tingkat intelegensia yang rendah, keinginan terhadap hal baru yang rendah, dan temperamen yang buruk (Flegr et al 1996). Penurunan ego yang tinggi juga ditemukan pada pria yang terinfeksi toxoplasma dengan derajat yang tergantung dari lamanya terinfeksi. Parasit ini dinilai meningkatkan kemampuan intelegensia wanita hamil dengan infeksi laten T. gondii (Flegr & Havlicek 1999). Sementara studi yang dilakukan pada 857 wajib militer di Republik Czech melaporkan penurunan IQ beserta kemampuan verbal pada individu-individu yang terinfeksi T. gondii (Flegr et al 2003). 

Peneliti dari Sydney University of Technology infectious disease, Nicky Boulter, dalam sebuah artikel yang muncul di Australasian Science edisi January/February 2007 mengatakan bahwa infeksi Toxoplasma memberikan kemungkinan perubahan tergantung pada jenis kelamin dari orang yang terinfeksi. Perubahan personalitas lebih kentara pada mereka-mereka yang telah membawa toxoplasma dalam tubuhnya dalam jangka waktu yang lebih lama.

Parasit dan Budaya:

Lebih lanjut, Proceedings of the Royal Society of London tertanggal 1 Agustus 2006 melaporkan sebuah paper berjudul "Dapatkah parasit otak, Toxoplasma gondii, mempengaruhi kebudayaan manusia?" Kevin Lafferty, pengarang paper ini, ahli biologi dari University of California, Santa Barbara membuat tiga observasi: Pertama, ditemukannya variasi infeksi Toxoplasma di setiap negara. Rata-rata infeksi T.Gondii berbeda-beda di setiap negara. Korea utara mempunyai prevalensi hanya 4.3%, sementara Brazil 66.9%. Perbedaan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, dari mulai gaya makan (pemakan daging, sayuran, steak, akan berbeda) sampai pada iklim yang mempengaruhi suatu wilayah (oosit T. gondii dapat bertahan hidup lebih lama di iklim tropis). Yang kedua, terdapat penelitian yang memberikan data bahwa infeksi Toxoplasma memberikan kemungkinan perubahan personalitas tergantung pada jenis kelamin dari orang yang terinfeksi. Yang ketiga, dengan adanya kemungkinan perubahan personalitas, para ilmuwan mencoba mengkorelasikan antara prevalensi T.gondii pada sebuah wilayah dengan perkembangan kebudayaannya.

Kebudayaan di suatu daerah terbentuk oleh gabungan-gabungan personalitas dan karakter orang-orang yang mendiami wilayah tersebut. Para ilmuwan menyeleksi beberapa kunci personalitas manusia yang ditemukan pada orang-orang terinfeksi Toxoplasma (ada lima faktor kunci penentu personalitas, Goldberg, 1993), salah satunya ialah neuroticism (kecenderungan untuk berada dalam fase emosi negatif). 

Lafferty mengatakan bahwa pada negara-negara dimana kadar Toxoplasma-nya meningkat, kondisi ini akan menjadi semakin jelas kentara. Ia mengumpulkan data dari studi pada 39 negara-negara tersebar di 5 benua, mengoreksi beberapa faktor variasi termasuk GDP perkapita suatu negara. Ia menemukan korelasi signifikan antara kadar infeksi Toxoplasma yang tinggi dan dengan tingkat neuroticism yang tinggi, sehingga orang-orang yang berada di wilayah tersebut cenderung lebih sensitif dan emosional.

Toxoplasma dapat mempengaruhi elemen spesifik dari kebudayaan manusia. Toxoplasma diasosiasikan dengan perubahan perilaku yang bertolak belakang antara wanita dan pria. Akan tetapi baik pria dan wanita akan meningkat perihal neuroticism. Analisis Lafferty menemukan bukti bahwa negara-negara dengan prevalensi Toxoplasma yang tinggi mempunyai kecenderungan neuroticism yang tinggi. Negara-negara barat dengan tingkat prevalensi tinggi memberikan dimensi kebudayaan neurotic walaupun akan bisa terbentuk banyak parameter dari kemungkinan pengaruh Toxoplasma. Respon yang berbeda terhadap parasit oleh pria dan wanita dapat pula memberikan efek budaya yang berbeda (Lafferty 2006). 

Disamping itu iklim memperngaruhi derajat infeksi Toxoplasma di suatu wilayah, sehingga variasi geografik pun menjadi suatu parameter yang menentukan. Telur parasit dapat hidup lebih lama di lingkungan yang lembab, wilayah ketinggian yang rendah. Kebiasaan pola menyiapkan makanan yang tidak bersih, pemeliharaan binatang yang tak terawat, dapat juga meningkatkan derajat infeksi Toxoplasma di suatu wilayah. 

Toxoplasmosis laten yang dapat bertahan hidup lama sebagai cysts pada jaringan otak dan otot, memang tidak mempengaruhi kesehatan manusia. Akan tetapi, subjek-subjek yang terinfeksi, diidentifikasi memiliki kecenderungan aktivitas psikomotor yang menurun dan memiliki personalitas yang berbeda dengan mereka yang tidak terinfeksi Toxoplasma. Mekanisme efek ini memang belum diketahui. Namun diduga, kenaikan kadar dopamin dalam otak yang diinduksi oleh parasit ini menjadi suatu penyebabnya meskipun penelitian lebih jauh masih terus dilakukan. 

Pertanyaan apakah parasit yang bertahan hidup dalam tubuh manusia dalam sekian dekade dapat mempengaruhi personalitas manusia apalagi budaya memang masih dalam wacana dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun saat ini disinyalir bahwa Toxoplasmosis termasuk salah satu faktor dari banyak faktor lain seperti lingkungan, iklim, genetika, interaksi manusia, filosofi, sejarah dan lain-lain, yang dapat mempengaruhi personalitas dan kebudayaan manusia. Sekecil apapun upaya untuk mengontrol infeksi patogen dari parasit ini menjadi bermakna untuk meminimalisasi pengaruhnya terhadap manusia.

Mereka menginvasi dan menjadi kemudi:

Selain T. gondii, ada sejumlah parasit mikroskopis dan organisme yang mempengaruhi organisme lain. Parasit Dicrocoelium dendriticum misalnya, dapat mengemudikan perilaku semut untuk berkecenderungan berada di tempat-tempat yang meningkatkan probabilitas semut untuk dimakan oleh serangga yang lebih besar.

Ada juga parasit yang mengemudi pikiran ikan. Euhaplorchis californiensis menyebabkan perilaku ikan berkecenderungan untuk berenang dekat dengan permukaan air dengan tingkah yang lebih lincah dan atraktif sehingga meningkatkan probabilitas mereka untuk dimangsa burung. Burung tersebut kemudian akan menjadi inang untuk parasit melanjutkan siklus hidupnya.

Trichastrongylidae sp., sejenis cacing yang hidup dalam tubuh belalang, menyebabkan inangnya terbunuh dengan menyabotase sistem saraf pusat belalang sedemikian hingga belalang melompatkan diri ke dalam kolam sampai tenggelam. Keadaan ini menguntungkan cacing untuk dapat melanjutkan siklus hidupnya di dalam lingkungan akuatik. 

Contoh lain ialah Plasmodium gallinaceum, diketahui sebagai virus protozoa yang menggunakan nyamuk sebagai vektor dan menyebabkan penyakit malaria. Yang sedang menjadi observasi ilmuwan saat ini ialah, bagaimana virus ini menyebabkan perubahan perilaku menghisap darah dari nyamuk. Seekor nyamuk akan mencari mangsanya sampai volume darah yang dibutuhkan mencukupi batas tampung. Ketika sudah mencapai batas, ia akan berhenti menggigit. Riset menunjukkan bahwa nyamuk yang menghisap darah mengandung plasmodium gallinaceum, akan menjadi lebih aktif dalam mencari mangsa, sehingga memberikan waktu yang lebih panjang untuk plasmodium bereplikasi. Diduga kuat bahwa plasmodium memang mempengaruhi sistem saraf. Karen A. et al., (okt. 2005) memperkuat hipotesa ini dengan hasil risetnya yang menunjukkan bahwa plasmodium dapat mempengaruhi kompleksitas lagu dan perkembangan neuron pada burung.

Kasus yang banyak juga ditemukan ialah pada penyakit rabies. Hewan yang terinfeksi virus ini memperlihatkan perubahan di dalam perilaku, menjadi lebih agresif dan lebih ganas menggigit. Pada manusia, virus Rabies yang hidup di otak juga dapat mempengaruhi perilaku. Beberapa jurnal menyebutkan perubahan personalitas manusia yang terkena rabies sangat bervariasi, dari mulai halusinasi, insomnia, kejang-kejang, disorientasi, sampai kasus abnormalitas perilaku yang menunjukkan gejala menakutkan.

Fenomena-fenomena tersebut diatas adalah sebuah contoh yang dramatis bagaimana suatu makhluk hidup mempertunjukkan perilaku yang tidak biasanya dibawah kendali makhluk hidup lain yang secara anatomi derajatnya lebih rendah dan bisa jadi tidak memiliki otak atau sebuah sistem saraf. Fenomena organisme mengendalikan kadar molekul otak tersebut kemudian membuat suatu mata rantai hingga mempengaruhi makhluk hidup tingkat tinggi seperti manusia dan mempengaruhi pola-pola perilaku bahkan sampai disinyalir dapat merubah suatu budaya. Sehingga jika para motivator ulung kerapkali menyebutkan "If you don't master your life, somebody else will!", sepertinya wajar kalau para neuroscientist akan lebih suka menyebutkan, "If you don't control your mind, someone else will!".

Daftar  Pustaka:
1. Toxoplasma gondii infection lower anxiety as measured in the plus-maze and social interaction tests in rats, a behavioral analysis. J. Behavioral brain research. Vol.177 issue 1, (12 february 2007).
2. Jaroslav Flegr. Women infected with parasite Toxoplasma have more sons, Naturwissenschaften, (August 2006).
3. Lafferty, Kevin D. "Can the common brain parasite, Toxoplasma gondii, influence human culture?". Proceedings of the Royal Society of London (1 august 2006)
4. Look what the cat dragged in: do parasites contribute to human cultural diversity? J. Behavioral Processes Vol. 68, issue 3, (31 march 2005).
5. Jeffrey D. Kravetz et al., Toxoplasmosis in pregnancy. The American Journal of Medicine. Vol. 118, Issue 3, Pages 212-216 (March 2005).
6. "Malaria Parasite Makes You More Attractive (To Parasites)" New York Times, (August 9, 2005).
7. Karen A. et al., Parasites affect song complexity and neural development in a songbird. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. Vol. 272, No. 1576 (October 07, 2005)
8. Montoya J, Liesenfeld O. "Toxoplasmosis". The Lancet Volume 363, Issue 9425, Pages 1965-1976, (12 June 2004)
9. Flegr, J., et al., Decreased level of psychobiological factor novelty seeking and lower intelligence in men latently infected with the protozoan parasite Toxoplasma gondii dopamine, a missing link between schizophrenia and toxoplasmosis? Biol. Psychol. 63, 253・68 (2003).
10. Jones J, Kruszon-Moran D, Wilson M. "Toxoplasma gondii infection in the United States, 1999-2000". Emerg Infect Dis 9 (11): 1371-4. PMID 14718078 (2003).
11. Flegr, J., Havlicek, J., Kodym, P., Maly, M., Smahel, Z. Increased risk of traffic accidents in subjects with latent toxoplasmosis: a retrospective case-control study. BioMed. Central Infect. Dis. 2. (2002).
12. Flegr, J., et al., Correlation of duration of latent Toxoplasma gondii infection with personality changes in women. Biol. Psychol. 53, 57・8 (2000).
13. Berdoy, M et al., Fatal Attraction in Rats Infected with Toxoplasma gondii. Proceedings of the Royal Society of London, B267:1591-1594 (2000).

http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-04-02-Para-Pengemudi-Pikiran.shtml


0 komentar:

Posting Komentar