Pages

Rabu, 28 Juli 2010

Masa Depan Satuan Pendidikan Negeri

Oleh: ADING SUTISNA*)
     Sekolah negeri, begitu juga Perguruan Tinggi Negeri/PTN (dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional disebut Satuan Pendidikan Negeri) adalah peninggalan sistem sentralisme negara dalam penyelenggaraan dan layanan pendidikan. Dalam sistem ini, pemerintah melalui para birokrat merangkap banyak peran. Berperan sebagai regulator, merangkap sebagai fasilitator, merangkap operator, juga merangkap sebagai supervisor. Akhirnya, seperti kata teman saya, birokrat akan kreatif berperan sebagai koruptor.
     Sentralisme dalam layanan pendidikan oleh pemerintah, ternyata bukan hanya monopoli negara-negara komunis. Amerika Serikat sebagai negara kampiun kapitalisme, ternyata sampai tahun 80-an masih melakukan sentralisme dalam layanan pendidikan. Pemerintah Amerika, baru pada era pemerintahan Presiden Ronald Regen yang berani melakukan reformasi birokrasi layanan publik termasuk di sektor pendidikan (Osborne, 1999). Dan langkah tersebut, sampai saat ini masih mendapat tantangan keras dari sejumlah birokrat (Lambsdorff, 2004). Wajar, apabila para birokrat, terlebih-lebih birokrat yang tega mengorbankan kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadi, menghambat proses reformasi itu. Karena dalam sistem sentralisme pelayanan publik, mereka banyak mendapatkan fasilitas khusus atas nama rakyat.
     Dalam teori kebijakan publik, penyelenggaraan dan pengelola pendidikan oleh pemerintah bertujuan agar pendidikan dapat dinikmati oleh rakyat seluas mungkin. Tetapi itu dulu. Sekarang, ketika praktek korupsi telah demikian meluas dan mendalam. Sentralisasi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan menjadi katalis praktek korupsi. Karena praktek korupsi yang terus dibiarkan di lingkungan birokrasi pendidikan, maka hal itu berpengaruh pada kinerja satuan pendidikan negeri. Kita tidak usah menunggu masa yang akan datang. Saat ini saja kita bisa melihat kinerja dan mutu satuan pendidikan negeri semangkin tertinggal bila dibandingkan satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola swasta yang setara. Saat ini, kita mendapatkan banyak satuan pendidikan swasta yang dikelola dengan baik, mutunya lebih baik, menawarkan biaya pendidikan yang lebih murah bila dibandingkan satuan pendidikan negeri. 
     Dalam hal partisipasi sekolah. Sekolah-sekolah negeri yang terus menerus dipimpin oleh kepala sekolah yang korup, dengan kepala dinas pendidikan dan kepala daerah yang juga korup, akan semangkin memarginalisasi banyak siswa miskin. Jika pada awalnya, penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah bertujuan untuk memperluas partisipasi rakyat atas pendidikan. Maka saat ini, secara faktual satuan pendidikan negeri “dimiliki dan dikuasai” oleh para birokrat pendidikan. Kinerja dan mutu satuan pendidikan negeri seluruhnya tergantung pada kebaikan hati para birokrat. Bila pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola swasta reward and punishment bisa berjalan baik, maka pada satuan pedidikan negeri reward and punishment baru dapat berjalan atas kebaikan hati kepala daerah, kepala dinas, dan para kepala sekolah. Para kepala sekolah negeri, karena mereka diangkat dan diberhentikan oleh kepala dinas, maka loyalitas dan tanggunggugat mereka hanya kepada kepala dinas. Hal ini diakui oleh Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas RI (1999). 
     Bila ada kepala sekolah di sekolah negeri memiliki tanggunggugat (akuntabilitas) kepada para siswa dan para orang tua, maka hal itu terjadi karena beberapa hal: pertama, memang kepala daerahnya memiliki komitemen kuat memajukan pendidikan di daerahnya, dan dia pro kepada otonomi sekolah. Bila hal ini terjadi, biasanya kepala dinas pendidikan akan mengikuti irama kepala daerah. 
     Kedua, bila kepala daerahnya kurang begitu peduli kepada pendidikan, akan tetapi kepala dinasnya memiliki komitmen untuk memajukan pendidikan, maka tanggunggugat kepada para siswa dan para orang tua siswa dari para kepala sekolah negeri masih bisa ditumbuhkan. 
     Dan yang ke-tiga, jika kepala daerah dan kepala dinas pendidikan sama-sama tidak memiliki komitmen memajukan pendidikan maka, tanggunggugat bisa ditumbuhkan atas inisiatif dan kebaikan hati kepala sekolah. Banyak kasus, jika hal ini terjadi maka kepala sekolah yang masih memiliki komitemen tersebut, tidak akan lama menjadi kepala sekolah, dia akan diberhentikan karena dianggap tidak bisa melayani atasannya. Dalam iklim sentralisme pendidikan oleh pemerintah, maka kualitas pendidikan negeri sangat bergantung kepada kebaikan hati para birokrat dan politisi. 
     Seperti juga India, Indonesia pada era orde lama pernah memakai sosialisme sebagai dasar pembangunan ekonomi. Komersialisasi dan profitisasi layanan publik, termasuk sektor pendidikan adalah suatu hal yang diharamkan. Di India, seperti yang diwartakan oleh V.J Rao (2001), secara de jure Badan Legislatif dan Pemerintah India melarang komersialisasi dan profitisasi pendidikan. Tetapi secara de facto , larangan hukum tidak meresap pada sikap nyata di sekolah-sekolah, kecuali pada laporan mereka ke para penilik sekolah, setelah mereka membayar suap yang terkait dengan hal itu (Tooley dan Dizon, 2003). Temuan bahwa sekolah-sekolah beroperasi dengan kepentingan komersial, misalnya telah disampaikan oleh pejabat senior pemerintah India: “Semua institusi menghasilkan profit.....Kami tidak bersikukuh dengan peraturan dan undang-undang, kami sangat fleksibel, dan semua institusi menghasilkan keuntungan. Kami mebiarkan mereka” (Tooley, 2003). Hasil penelitian Tooley dan Dizon di India, menunjukan bahwa sekolah-sekolah pada umunya secara de facto beroperasi sebagai badan komersil bertujuan profit. 
     Di Indonesia, pemerintah masih malu-malu menyatakan secara terus terang ingin melakukan liberlisasi dan komersialisasi pendidikan. Secara de jure dan tidak konsisten pemerintah telah menetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan berprinsip nirlaba, hal ini dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 53. Padahal faktanya, pendidikan telah menjadi sektor jasa yang diperdagangkan, dan hal tersebut telah dilegalkan oleh pemerintah sejak tahun 1967, yaitu sejak diterbitkannya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam UU itu, sektor pendidikan bukan lagi bidang/sektor yang dikatagorikan sebagai bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak. 
     Komersialisasi pendidikan terus di dorong oleh pemerintah melalui penerbitan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam undang-undang tersebut sektor pendidikan telah ditetapkan sebagai industri jasa yang diperdagangkan. Pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu, dalam perundingan WTO di Hongkong, rencananya Pemerintah Indonesia akan menawarkan, mungkin saat ini sudah ditawarkan, liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan, dan pendidikan tinggi (Warta Balitbang Depdiknas, Maret 2005). Dari sini kita bisa melihat ambilvalensi dan ketidakkonsistenan pemerintah dan DPR dalam menyusun regulasi yang menjadi dasar kebijakan pendidikan. Sudah bisa diduga, masa depan satuan pendidikan negeri akan kehilangan profesionalismenya jika korupsi di sektor pendidikan tidak diberantas dan dicegah (Tanjung Priok, 25 Februari 2009).


Minggu, 11 Juli 2010

Kepercayaan dan Harapan

Oleh: Ading Sutisna
dari Kolom Goenawan Mohamad “Mencoba Berpisah dari Sri Mulyani”
Majalah Tempo, 30 Mei 2010


Yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang,
Tapi juga kepercayaan dan harapan.
Korupsi yang kita alami tiap hari,
akan membuat kita saling curiga dalam bisnis dan politik.
Korupsi yang kita alami setiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme.
Sinisme itu racun.
Adanya sinisme, menunjukan bahwa “modal sosial” kita terkikis.
Tanpa “modal sosial”, sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.
Sejarah Indonesia menunjukan,
bahwa harapan adalah sesuatu yang sulit, tapi tak pernah padam.
Kita memang sering kecewa.
Kita memang tahu, sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan 
optimisme yang pendek.
Tapi kita tahu, sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali.
Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali,
Mengangkut batu berat cita-cita itu lagi,
biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat terguncang.
Semangkin lama, kita semangkin arif.
Kita mungkin tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh,
tapi kita merasakan bahwa Indonesia adalah amanah,
dan amanah bagi kita adalah tugas, takdir, dan sejarah.
Kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia,
selama kita ada.


Tanjung Priok,
Isra Mi’raj, 27 Rajab 1431 H/10 Juli 2010 M 




Selasa, 06 Juli 2010

Komersialisasi Pendidikan

Oleh: ADING SUTISNA*)

   Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. “cap” komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.Sebenarnya, bukan sesuatu yang baru, bila ada yang berpendapat, segala sesuatu yang orang butuhkan dan untuk mendapatkannya orang rela untuk membayarnya adalah suatu kegiatan usaha (bisnis). Tidak peduli apakah yang mereka hasilkan itu barang atau jasa. Jean Baptiste Say (1767-1832), ekonom Prancis, sudah berpendapat seperti itu ratusan tahun yang lalu (George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, 1994, h.66). Jadi, tidak usah heran apabila saat ini sektor pendidikan dan beberapa sektor yang dulunya dianggap “menguasai hajat hidup orang banyak”, sekarang menjadi barang dagangan atau dikomersialisasikan. 
    Sejak awal pemerintahan orde baru, Indonesia sudah memilih sistem ekonomi pasar sebagai landasan pembangunan ekonomi. Sektor pendidikan dan beberapa sektor layanan publik lainnya yang telah ditempatkan sebagai sub sistem ekonomi, mau tidak mau telah terpengaruh cara kerja sistem ekonomi pasar. Dengan diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terlebih-lebih sejak pemerintah menerbitkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Komersialisasi sektor pendidikan terus ‘didorong’ oleh pemerintah melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan (ratification) Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam undang-undang tersebut sektor kesehatan dan sektor pendidikan telah ditetapkan sebagai industri jasa yang diperdagangkan. Pada bulan Desember tahun 2005 yang lalu, dalam perundingan WTO di Hongkong, rencananya Pemerintah Indonesia akan (mungkin sudah) menawarkan liberalisasi pendidikan menengah atas kejuruan, dan pendidikan tinggi (Warta Balitbang Depdiknas, Maret 2005).  
    Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, UU dan PP tentang Penanaman Modal diperbaharui dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Badang Penanaman Modal. Bila kita kaji dalam UU dan PP tentang Penanaman Modal yang baru itu, komersialisasi layanan publik, termasuk pelayanan pendidikan, semakin sah menjadi sektor jasa yang diperdagangkan.  
     Bagi para penyelenggara pendidikan swasta, menempatkan sektor pendidikan sebagai sektor usaha (bisnis), merupakan hal yang sudah biasa. Hal tersebut juga diakui oleh Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional yang saat ini menjabat sebagai Pengurus Majlis Pendidikan Muhamadiyah. Muhaimin mengatakan, “sebagai lembaga swasta, diakuinya tidak mungkin mengelola institusi pendidikan tanpa keuntungan ataupun merugi. Yang terpenting keuntungan itu harus dikembalikan untuk kepentingan pengembangan pendidikan, sehingga harus ada pasal dalam Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mencegah agar pendidikan tidak benar-benar komersial” (Kompas, 5/12/2006). Sekarang, yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Muhaimin di atas adalah, apa perlu menerbitkan UU hanya untuk mencegah agar pendidikan tidak benar-benar komersial?  
    Bila saja sejak orde baru pemerintah konsekwen dan konsisten menjalankan sistem ekonomi pasar, sektor pendidikan kita, terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah, tidak setertinggal seperti sekarang ini, dibandingkan dengan kinerja dan mutu pendidikan di beberapa negara tetangga. Bila pendidikan di negara-negara tetangga sudah berorintasi, bagaimana meningkatkan mutu agar lebih baik dibandingkan negara-negara maju, sementara kondisi pendidikan nasional kita masih berkutat pada masalah-masalah yang paling mendasar, seperti banyaknya bangunan sekolah−yang mayoritasnya adalah sekolah-sekolah negeri−yang roboh, angka putus sekolah yang tidak juga semangkin menurun. Pada hal penyebabnya sudah diketahui, bahwa semua itu terjadi karena selama ini penyelenggaraan pendidikan kita dilakukan secara sentralistis, yaitu dilakukan oleh pemerintah dengan jajaran birokrasinya {Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), 2001}, dan pengelolaan satuan pendidikan−terutama satuan pendidikan yang dikelola pemerintah−yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah yang mayoritasnya tidak amanah. Negara kita bukan negara komunis, akan tetapi cara penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional kita, seperti halnya di negara-negara komunis, dimana birokrasi pemerintah sangat menentukan kinerja sektor pendidikan. 
     Dari sisi good governance, sejak orde baru sampai dengan saat ini, di sektor pendidikan dan beberapa sektor publik lainnya, pemerintah masih merangkap berbagai peran. Birokrasi pemerintah berperan sebagai regulator, sekaligus berperan sebagai fasilitator, berperan sebagai operator, dan juga berperan sebagai pengawas (supervisor), dan auditor. Perangkapan peran itu, menurut Tanri Abeng (1999) telah menimbulkan konflik kepentingan, yang secara simultan melumpuhkan pengembangan kompetensi untuk bersaing secara global. 
     Meski tidak sama persis, fenomena menurunnya kualitas pendidikan kita, terutama satuan pendidikan yang dikelola pemerintah, sama seperti menurunnya kualitas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah di Amerika Serikat. Seperti yang dituturkan oleh Osborn (1992), fenomena pendidikan di Amerika sampai dengan tahun 90-an, kualitas pendidikan yang diselenggarakan swasta semakin berkembang, sementara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kualitasnya semakin menurun. Sekolah-sekolah negeri di Amerika bersifat hampir monopoli, tidak ada standar prestasi dan sedikit kompetisi baik di dalam sistem maupun di luar sistem (Peter F.Drucker, 1988). Lembaga pendidikan negeri di Amerika adalah contoh klasik dari model birokrasi-terpusat. Digerakan oleh peraturan. Masing-masing sekolah adalah sebuah monopoli. Tidak ada pekerjaan yang tergantung pada prestasi. Hasil dari penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan yang sentralistis dan terpusat itu telah membuahkan hasil. Tingkat putus sekolah di seluruh Amerika pada tahun 1990 lebih tinggi dari pada tahun 1980. Nilai pada dua ujian utama untuk masuk perguruan tinggi (SAT dan ACT) hanya naik 1,5 % antara tahun 1982 dan 1987. Prestasi siswa Amerika berada pada pringkat paling buruk di tahun 1990 bila dibandingkan prestasi siswa di negara-negara maju lainnya (David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1992, h.348).  
     Mengambil pelajaran dari masa lalu, dan dari negara lain. Resepnya sudah jelas, bila ingin meningkatkan kinerja dan mutu pendidikan nasional, jadikan sektor pendidikan sebagai sektor komersial. Tanggalkan prilaku yang hipokrit atau pseudo sosial (berkedok sosial), yang sering mengatakan bahwa pendidikan berprinsip nirlaba, padahal prakteknya berorintasi kepada laba atau sektor pendidikan adalah sektor sosial, padahal prakteknya adalah sektor bisnis (Tooley dan Dizon, 2003). Dengan didasari paradigma usaha, maka efisiensi, efektifitas, dan produktivitas sektor pendidikan dapat ditingkatkan. Kalau kita ingin menjadikan pendidikan nasional dapat bersaing di era global, hal itu merupakan suatu keniscayaan. Peran pemerintah dalam era itu tidak dinihilkan. Pada era itu justru, pemerintah harus mengambil peran yang semakin strategis dan fokus, yaitu sebagai katalis pembangunan.                                                 (Tanjung Priok, 9 Desember 2006)                                                                                                              

*) Direktur Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia

Memahami Liberalisme dan Neoliberalisme

Oleh: ADING SUTISNA

Liberalisme dan Neoliberalisme:
Dalam arti luas Liberalisme memiliki arti sebagai:”usaha perjuangan menuju kebebasan.” Liberalisme memiliki banyak arti yang berbeda. Istilah liberalisme dalam ekonomi, berbeda dengan istilah dalam politik, dan dalam agama (rohaniah). Istilah liberalisme politik dan agama (rohaniah), memiliki arti bahwa semua sumber kemajuan terletak dalam perkembangan kepribadian manusia yang bebas. Manusia (individu) dapat menarik keuntungan sepenuhnya dari daya ciptanya. Liberalisme dalam politik dan agama (rohaniah) mulai muncul pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi istilah ini baru dipakai pada abad ke-19. Sebagai aliran pemikiran, liberalisme (politik dan agama) timbul sebagai bentuk perlawanan terhadap absolutisme. Tujuan yang hendak dicapai liberalisme politik dan agama (rohaniah), adalah kebebasan jiwa dan kebebasan dalam kehidupan bernegara. Bentuk negara yang diidamkan aliran liberalisme adalah demokrasi parlementer dengan persamaan hak bagi seluruh rakyat di depan hukum, dan adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (Ensiklopedi Indonesia, Vol. 4). Sedangkan bentuk pemerintahannya adalah federal (Eberhard Puntsch, Politik dan Martabat Manusia, 1996). Beberapa tokoh yang dikenal dalam liberalisme poitik dan agama (rohaniah): John Locke (Inggeris); Voltaire, Montesquieu, Rousseau (Perancis), Imanuel Kant (Jerman).
Sedangkan pengertian liberalisme ekonomi didasarkan atas pemikiran, bahwa individu bebas dan sanggup untuk mengurus dirinya sendiri. Atas dasar pemikiran itu, maka hak milik swasta harus dipertahankan, dan pemerintah sedapat mungkin tidak ikut campur dalam kehidupan ekonomi. Dalam sejarah ilmu ekonomi, mazhab ekonomi liberal disebut juga sebagai mazhab klasik (Winardi, Kamus Istilah Ekonomi, 1979, Jilid II, h.173). Mazhab ini terkenal dengan mottonya: Laissez-faire, Laissez-passez (biarkan membuat, biarkan lewat). Kelahiran motto itu diceritakan cukup menarik. Pada akhir abad ke-17, pada waktu pemerintahan Louis XIV di Prancis, menteri keuangannya yang bernama Jean Bapiste Colbert ketika menemui seorang produsen yang bernama Legendre, ia bertanya:”Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha?”, jawabnya:”Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita). Jawaban itu kemudian menjadi motto liberalisme ekonomi, “Laissez-faire, Laissez-passez (biarkan membuat, biarkan lewat). Beberapa tokoh liberalisme ekonomi, antara lain: Adam Smith, Robert Maltus, David Ricardo, Jean Baptiste Say, James S. Mill
Sedangkan neoliberalisme adalah aliran pemikiran dalam politik ekonomi yang menekankan pada segi-segi positiv pasar bebas disertai usaha keras untuk menekan campur tangan pemerintah maupun konsentrasi kekuasaan swasta atas proses perekonomian (Ensiklopedi Indonesia, Vol. 4, p.2354) 
Keterkaitan antara Liberalisme dengan Neoliberalisme:
Liberalisme memiliki hubungan yang cukup erat dengan neoliberalisme. Kata neo dalam neoliberalisme sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru liberalisme lama dengan melibatkan Trans National Corporation/TNC (Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, 2003, h.53).
 
Menurut Fakih (2003), ada 4 ciri dari neoliberalisme. Pertama, berpegang pada mekanisme pasar; 
Kedua, kurangi pemborosan dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif;
Ketiga, melakukan deregulasi ekonomi;
Keempat, melakukan privatisasi.
Ke-empat ciri yang disampaikan secara negativ oleh Fakih (2003) sebagai ciri dari neoliberalisme, tidak dapat sepenuhnya diterima oleh Herry B. Priyono. Menurut Priyono (2005), tidak semua sistem ekonomi yang berpegang kepada sistem pasar, dan melakukan privatisasi sebagai sistem ekonomi neoliberal, contohnya Sistem Ekonomi Pasar Sosial seperti yang dijalankan di Jerman (Heinz Lampert,Ekonomi Pasar Sosial,Puspa Swara,1994). Demikian pula menurut Kwik Kian Gie (Kapitalisme di Indonesia dan Sistem Ekonomi Pancasila dalam Gonjang Ganjing Ekonomi Indonesia, 1999, h.21-29). Saat ini menurut Anwar Nasution (Demokratisasi Sistem Ekonomi Indonesia, Pelita, 19-20 Mei 1990), tidak ada satu negara pun, termasuk Amerika yang menjalankan sistem ekonominya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Hanya derajat campur tangan pemerintah pada masing-masing negara yang berbeda. 
Menurut Agus Nuryatno (Kompas, 13/2/2007, h.6) mengutip pendapat Nanang Pamuji dan Ucu Martanto (2006), ada tiga perbedaan antara liberalisme dengan neoliberalisme, pertama, dalam liberalisme mekanisme pasar dipakai untuk mengatur ekonomi negara, sedangkan dalam neoliberalisme, mekanisme pasar harus digunakan untuk mengatur ekonomi global. Dengan bantuan globalisasi nilai-nilai liberal bisa menjadi universal value.  
Kedua, dalam neoliberalisme kinerja pasar dipakai untuk memakmurkan individu, sedangkan dalam liberalisme dipakai untuk kemakmuran bersama.
Ketiga, liberalisme menganggap otoritas regulatif negara diperlukan, sedangkan neoliberalisme justru menekankan pelimpahan otoritas regulatif dari negera ke individu, atau dari social welfare ke selfcare. Wa’llahu a’alm bis-showab.
Tanjung Priok, 4 Maret 2007


Jumat, 02 Juli 2010

Prinsip Laba dan Nirlaba Catatan untuk Mendiknas Mohammad Nuh

Oleh: ADING SUTISNA*)

Dalam wawancaranya dengan wartawan Koran Jakarta, 9 Mei 2010, Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan,”prinsipnya kami tetap pegang kendali bahwa pendidikan itu harusnya nirlaba. Karena bila tidak dikunci nirlaba, pendidikan akan menjadi komoditas dan komersialisasi”. Kalimat diatas merupakan jawaban atas pertanyaan wartawan, ”Bagaimana kabar revisi UU Badan Hukum Pendidikan (BHP)?” Kemudian untuk pertanyaan wartawan selanjutnya ”Maksud nirlaba itu, PTN tidak boleh mencari untung dari usahanya?” Mendiknas menjawab,”bukan berarti mereka (PTN) tidak boleh menerima pemasukan, tapi hasil pemasukan harus direinvestasi untuk perkembangan kampus. Bukan dibagi-bagi ke stakeholders. Kedua, otonomi penting tapi harus dikawinkan dengan akuntabilitas, jadi harus diawasi.”

Membaca jawaban Mendiknas Mohammad Nuh seperti itu, timbul rasa ingin tahu saya untuk lebih mengetahui tentang pengertian istilah laba dan nirlaba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laba diartikan sebagai selisih lebih antara harga penjualan yang lebih besar dari harga pembelian atau biaya produksi. (KBBI, edisi ketiga,2001). Sedangkan T. Guritno mengartikan laba sebagai kelebihan di atas pengeluaran (Kamus Ekonomi-Bisnis-Perbankan, Gajah Mada University Press, 1992). Sedangkan Nirlaba diartikan (suatu kegiatan usaha) yang bersifat tidak mengutamakan pemerolehan keuntungan/laba (KBBI, edisi ketiga, 2001). 
Ketika mengingat istilah laba, saya juga teringat buku lama karya Peter F. Drucker, Manajemen: Tugas-TanggungJawab-Praktek, yang diterbitkan oleh Penerbit PPM bekerjasama dengan penerbit Gramedia, tahun 1978. Dalam buku tersebut Drucker menjelaskan betapa pentingnya laba dalam suatu organisasi usaha. Laba menurut Drucker, bukanlah suatu sebab melainkan suatu akibat dari karya perusahaan dalam kegiatan pemasaran, pembaharuan dan produktivitas. Laba adalah suatu akibat yang dibutuhkan, yang melayani fungsi ekonomis yang pokok. Laba adalah tes (alat ukur) dari kinerja, satu-satunya tes yang efektif. Selanjutnya Drucker menjelaskan, jika yang duduk di kursi direktur bukanlah usahawan, melainkan malaikat, maka mereka masih tetap harus menaruh perhatian pada kemampuan berlaba biarpun mereka itu sama sekali tidak mempunyai minat pribadi untuk mencari laba. Laba, dan hanya laba itu sajalah yang dapat menyediakan modal untuk menciptakan pekerjaan hari esok, dan supaya pekerjaan-pekerjaan itu makin banyak dan makin baik. Laba adalah bukti kemajuan ekonomi yang diperlukan investasi untuk menciptakan pekerjaan baru, dan pekerjaan tambahan yang semangkin berlipat ganda. Tidak ada alasan meminta maaf untuk pengutipan laba sebagai suatu keperluan ekonomi dan masyarakat. Sebaliknya pengusaha sudah seharusnya menyesal dan perlu meminta maaf bila ia gagal menghasilkan laba yang sesuai fungsi ekonomi dan sosial yang dapat dikembangkan oleh laba, dan hanya oleh laba. 
Demikian pentingnya laba dalam organisasi usaha, termasuk satuan pendidikan. Laba bagi sebagian besar pengusaha menjadi motiv dasar berusaha, dan hal itu sah-sah saja. Selain itu laba juga menjadi parameter usaha. Hal itu disampaikan oleh Dale D. McConkey. McConkey mengatakan, umumnya kita enggan menekankan perlunya efektivitas manajerial dalam sektor layanan publik. Ke-efektifan seolah-olah hanya perlu bagi para manajer sektor bisnis (murni). Tujuan perusahaan layanan publik dianggap sedemikian luhur dan mulia, sehingga akan merusak citra (niat/motivasi), jika kegiatan operasi perusahaan layanan publik menekankan efektifitas dan efisiensi. Tidak ada alasan bahwa perusahaan layanan publik harus tidak efektif dan efisien, harus mengabaikan produktivitas manajerial, harus meninggalkan motif “laba”. Perusahaan layanan publik harus memperoleh “laba” dengan beroperasi secara lebih efisien dan efektif demi mencapai prioritas yang tepat. Keuntungan perusahaan layanan publik, mungkin diberi cap yang berbeda, namun motif laba harus ada jika ingin menghindarkan pemborosan ekonomi dan sosial (McConkey, 1985). 
Apa yang dikemukakan oleh McConkey, saya melihatnya sejalan dengan apa yang tertuang dalam UU Sisdiknas pasal 48 ayat (1): Pengelelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Apa lagi di negara kita yang masih dililit praktek korupsi. Bagaimana mengukur efisiensi satuan pendidikan tanpa adanya laba? Saya menilai, apa yang diucapkan oleh Mendiknas Mohammad Nuh, bahwa pendidikan itu harusnya nirlaba, adalah salah satu bentuk penyeragaman. Pendapat itu bertentangan dengan pasal 48 ayat (1) UU Sisdiknas, dan bertentangan pula dengan prinsip-prinsip usaha.
UU BHP sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu dasar pembatalan UU BHP adalah penyeragaman badan hukum. Bila masyarakat memilih badan hukum yayasan sebagai penyelenggara pendidikan, maka berdasarkan UU Yayasan, maka yayasan dikelola dengan prinsip nirlaba. Bila masyarakat memilih badan hukum koperasi atau perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum penyelenggara pendidikan, maka UU Koperasi dan UU PT menetapkan badan hukum usaha itu berprinsip laba. Apa Mendiknas tidak akan mengizinkan Koperasi dan PT sebagai penyelenggara pendidikan? Bila Mendiknas tidak mengizinkan, apabila ada anggota masyarakat yang ingin menyelenggarakan pendidikan dengan memilih badan hukum Koperasi atau PT, karena kedua badan hukum tersebut berprinsip laba, maka saya menilai sikap itu bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi WTO, dan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Badang Penanaman Modal. Masyarakat perlu dibebaskan untuk berusaha seluas mungkin, asalkan usahanya tidak bertentangan dengan undang-undang. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengatur agar kebebasan itu tidak menjadi “free fight liberalism”. Itu yang harus dikendalikan, bukan menyeragamkan badan hukum usaha dan prinsip-prinsip berusaha.
Saya menutup tulisan ini dengan beberapa kalimat yang perlu kita renungkan, saham adalah instrument pengendalian, laba adalah parameter kinerja, nirlaba adalah istilah yang enak didengar ditelinga, akan tetapi bila tidak hati-hati bisa menyesatkan. Kita jangan meniru orde baru dengan memilih kata-kata yang menipu. Kita masih ingat pada masa orde baru, APBN kita dikatakan menganut anggaran berimbang, bukan surplus atau defisit. Sebenarnya, bertahun-tahun APBN kita mengalami defisit. Dikatakan berimbang karena defisit-nya ditutupi oleh hutang luar negeri (Tanjung Priok, 9 Mei 2010) 
*) Direktur Lembaga Kajian Peningkatan Pendidikan Indonesia (LKPPI)
 



Awalnya adalah Kemiskinan Iman

Oleh:Ading Sutisna
Negara tetangga sudah tahu
Ambalat itu bukan miliknya
Dalam pandangannya,
republik ini sudah terpuruk, lemah.
Pejabatnya korup, birokrasi, dan para penegak hukumnya gampang disogok

Bangsa ini,
Sudah terperosok ke dalam jurang “kemiskinan”
Semua “kemiskinan”
Miskin ekonomi, karena banyak hutang.
Miskin moral.
Kejahatan apa yang tak ada di sini?
Miskin nalar, miskin etika, miskin hukum. 
Dewi keadilan yang matanya ditutup, di negeri ini masih bisa melihat uang.

Semua “kemiskinan”
Awalnya adalah kemiskinan iman.
“Kami kembalikan kamu ke tempat serendah-rendahnya”.
“Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh,
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.

Tanjung Priok, 3 Muharam 1426 H/12 Maret 2005


Indonesia di Tahun 2020

Oleh:Ading Sutisna
Teruntuk orang-orang Indonesia yang mendambakan, bangsa dan nusa Indonesia menjadi bangsa dan nusa yang baldah, thoyyibah wa Robbun ghofur.

Apa yang diharapkan Indonesia di tahun 2020?
Indonesia diperkirakan akan out of game
karena,
sampai dengan saat ini,
bangsa ini,
belum pernah dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas.
Engkau tahu:
“Apa syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang berkualitas?”
“Aku berpendapat, pemimpin itu harus memiliki 5 SIFAT. Ya…! SIFAT sebagai syarat untuk menjadi pemimpin berkualitas”.

S yang pertama adalah Sidiq, Jujur.
Pemimpin itu harus jujur.
Pemimpin yang tidak jujur, bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan dirinya sendiri
Pemimpin yang jujur lebih mengutamakan kepentingan orang banyak yang dhuafa, dibandingkan kepentingan dirinya, keluarganya atau kelompoknya.
Kamu lihat, apakah pemimpin di dekatmu lebih mementingkan orang kebanyakan yang dhuafa?, atau Ia lebih mementingkan dirinya, keluarganya atau kelompoknya?

I yang kedua adalah Istiqomah, konsisten
Pemimpin yang berkualitas itu, omongannya bisa dipegang
Jangan memilih orang munafik sebagai pemimpin
orang munafik itu,
bila Ia berkata, Ia dusta,
bila Ia diberi kepercayaan (amanah), Ia berkhianat,
bila Ia berjanji, tidak Ia tepati.

F yang ketiga adalah Fathonah, cerdas

A yang keempat adalah Amanah, dapat dipercaya

T yang kelima adalah Tabligh, mengajak, memobilisasi orang untuk berbuat baik

Pemimpin yang berkualitas akan menghasilkan karya yang berkualitas, bila Ia berkerja didasari oleh 5 prinsip DAPAT

D yang pertama, adalah Demokratis, yaitu memberikan peluang seluas mungkin kepada para stakeholders untuk berpartisipasi dalam peningkatkan kualitas karya, apalagi untuk organisasi publik, tidak ada alasan bagi pemimpin untuk bersifat otokrasi. Organisasi publik yang dijalankan dengan kepemimpinan otokrasi, akan menjadikan organisasi itu milik pimpinan, bukan milik publik. Pimpinan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Bila hal itu terjadi, pimpinan seperti itu, harus disingkirkan.

A yang kedua adalah Adaptif. Tidak ada sesuatu yang statis, kecuali kematian. Demikian pula organisasi. Seperti halnya organ (tubuh) yang selalu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, tetapi tetap memelihara eksistensinya. Tanpa eksistensi, sesuatu itu sebenarnya tidak ada. Larut atau melebur itu bukan adaptif, karena sesuatu yang larut atau melebur itu menjadi tidak ada. 

P yang ketiga adalah Profesional
Profesional, adalah orang yang bekerja yang menghasilkan karya yang berkualitas. Karya yang berkualitas menuntut kerja yang berkualitas. Dan kerja yang berkualitas memerlukan ilmu, pengetahuan dan seni.

A yang keempat adalah Akuntabel
Akuntabel, adalah bertanggung jawab
Pemimpin yang berkualitas bertanggung jawab terhadap yang telah diputuskannya

T yang kelima adalah Transparan
Transparan, adalah keterbukaan
Pemimpin yang berkualitas membuka diri terhadap hak stakeholders untuk memperoleh informasi, dengan tetap memperhatikan dan dapat membedakan antara hak private dan hak publik

Pemimpin yang memiliki 5 SIFAT dan berkerja dengan didasari 5 prinsip DAPAT, akan memperoleh DANA.
Apa,…..DANA? Fulus….?
Ya,……DANA! Ya…..Fulus…..! Tetapi, tidak hanya Fulus.
Dunia Akhirat, Nikmat Akhirnya.
“Barang siapa yang bekerja untuk akhirat, Ia akan mendapat dunia dan akhirat, 
barang siapa yang bekerja untuk dunia semata, Ia hanya akan mendapat dunia”.
Kamu tahu orang yang mengejar dunia semata?
Al-Qur’an menyebutnya, Ia seperti binatang.
Thomas Hubbes, menyebutnya,”serigala atas sesama”.

Aku berkeyakinan, pemimpin bangsa yang menjalankan 5 SIFAT dan 5 DAPAT
Akan menghantarkan bangsa dan nusa ini menyongsong tahun 2020 
dengan penuh ketegaran dan percaya diri.
Bukan bangsa kuli, dan menjadi kulinya bangsa-bangsa.

Jakarta, 2 Shafar 1426 H/ 12 Maret 2005


UU BHP Sudah (Seharusnya) Dibatalkan

Oleh: ADING SUTISNA*)
Pemerintah sebenarnya tidak perlu ngotot untuk menerbitkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU Nomor 9 Tahun 2009). UU tentang BHP itu tidak dikenal dalam khasanah hukum perusahaan, apalagi dalam khasanah hukum perusahaan yang berlaku internasional, meskipun dengan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah dan DPR berhak menerbitkan suatu peraturan atau undang-undang. Bila pemerintah ingin memperjelas status hukum dari satuan pendidikan, pemerintah tinggal mendorong masyarakat yang sudah atau ingin berusaha di sektor pendidikan untuk memilih badan hukum usaha yang sudah ada undang-undangnya. Seperti UU tentang Yayasan, UU tentang Perseroan Terbatas, dan UU tentang Koperasi. Berilah kebebasan kepada setiap orang yang mau berusaha di sektor pendidikan untuk memilih badan hukum yang sudah ada undang-undangnya, yang prinsip dan aturannya berlaku universal. 
Bila ada seseorang yang menyisihkan kekayaan pribadinya, lantas mendirikan sekolah yang biayanya murah, bahkan gratis, dan yang bersangkutan tidak akan mengambil keuntungan sepeser pun dari sekolah yang didirikannya, maka yang bersangkutan bisa memilih badan hukum Yayasan untuk lembaga pendidikannya-nya, maka dia harus taat pada UU tentang Yayasan dan UU Perpajakan. Akan tetapi apabila, ada seseorang atau sekelompok orang yang ingin berusaha di sektor pendidikan dengan motiv mencari keuntungan, maka jangan dihalangi. Orang tersebut dapat memilih badan hukum PT atau Koperasi, dan yang bersangkutan harus menaati UU tentang PT atau UU tentang Koperasi dan UU tentang Perpajakan.
Pada tahun 1994, pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1994 telah meratifikasi beberapa ketentuan dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), diantaranya menegaskan bahwa sektor pendidikan dan sektor kesehatan Indonesia termasuk dalam sektor jasa yang diperdagangkan. Sebenarnya sejak tahun 1967, yaitu pada awal pemerintahan Presiden Suharto, pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai entitas usaha. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor: 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Di dalam UU Nomor:1 Tahun 1967, khususnya dalam Pasal 6 ayat 1 secara jelas dinyatakan bahwa sektor pendidikan, bukan termasuk sektor yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak sehingga dianggap perlu harus dikuasai oleh negara. Di era pemerintahan Presiden SBY, hal ini berlanjut, yaitu melalui penerbitan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 12 disebutkan, ”bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, termasuk penanaman modal asing, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang”, dan sampai saat ini tidak ada undang-undang yang secara ekplisit menyatakan bahwa sektor pendidikan sebagai sektor yang tertutup dari penanaman modal swasta, dan harus dikuasai (dikelola) oleh pemerintah.
Menempatkan sektor pendidikan dan sektor pelayanan publik lainnya sebagai sektor usaha (bisnis) yang harus dikelola dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sudah merupakan keniscayaan. Apalagi bagi negara yang bukan negara sosialis atau komunis. Resistensi masyarakat kita terhadap yang berbau "privatisasi", bisa dipahami, karena negara kita pada era pemerintahan Sukarno pernah menganut sosialisme, sehingga hampir semua sektor dinasionalisasi. Kita lupa, bahwa sebelum republik ini berdiri, Taman Siswa sudah mendirikan sekolah, Muhamadiyah sudah mendirikan sekolah dan Balai Pengobatan, Mohammad Syafe'i sudah mendirikan sekolah NIS Kayu Tanam di Sumatera Barat, Organisasi Katolik dan Kristen juga sudah mendirikan sekolah dan rumah sakit. Itu semua adalah inisitif swasta. Pada era Pemerintahan Suharto, walaupun secara yuridis sektor pendidikan telah ditempatkan sebagai suatu entitas usaha, akan tetapi karena pertimbangan politis, sektor pendidikan dibiarkan mendua, dan menjadi objek kooptasi birokrasi. Karena guru jumlahnya banyak, maka pengangkatan guru sebagai pegawai negeri merupakan acara rutin menjelang pemilihan umum. Bila kita kaji secara seksama UU BHP itu, upaya kooptasi sektor pendidikan oleh birokrasi pemerintah terus dipelihara dan diberi payung hukum. 
Persoalan pokok yang dihadapi sektor pendidikan kita, sama dengan persoalan pokok bangsa ini, yaitu masalah korupsi. Mutu pendidikan kita tertinggal bila dibandingkan negara-negara tetangga, menurut pengamatan saya, karena praktek korupsi juga telah merasuki penyelenggaraan dan pengelolaan satuan pendidikan kita, terutama satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan dikelola oleh birokrasi pemerintah. Di satuan pendidikan negeri, praktek korupsi terjadi karena pemerintah merangkap hampir semua peran, yaitu sebagai Regulator, Fasilitator, Operator, dan Auditor. Maka terlihat ironis, satuan pendidikan negeri (sekolah negeri, PTN, dan sekolah kedinasan) yang konon katanya milik publik, dan pembiayaannya dibiayai oleh APBN, APBD dan hutang luar negeri, tidak pernah terlihat memublikasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja-nya (untuk sekolah, biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belaja Sekolah atau APBS) pada setiap awal tahun, dan memublikasikan laporan keuangan-nya pada setiap akhir tahun. Sepengetahuan saya, baru Universitas Airlangga yang pernah menerbitkan Laporan Keuangannya beberapa tahun yang lalu di salah satu surat kabar nasional.
Tantangan kita saat ini adalah, bagaimana mengatasi dan mencegah praktek korupsi di satuan pendidikan (sekolah, madrasah, dan PT), khususnya di setiap satuan pendidikan negeri? Para pakar Good Governance, menyarankan, jadikan sektor pendidikan sebagai entitas usaha (bisnis) yang dikelola dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. "Pemerintah menetapkan tarif. Yang mampu membayar, yang tidak mampu pemerintah berkewajiban memberikan beasiswa sebesar tarif yang ditentukan". Subsidi yang efektif adalah melalui mekanisme perpajakan, bukan melalui subsidi silang. Prinsip-prinsip GCG di satuan pendidikan negeri akan dapat berjalan bila satuan pendidikan negeri berbadan hukum PT Persero yang bersifat terbuka. Dikatakan satuan pendidikan sebagai satuan pendidikan negeri, bila pemerintah memiliki saham mayoritas di PT tersebut. PT Persero yang bersifat terbuka untuk satuan pendidikan negeri, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta memiliki saham PT tersebut. Hanya dengan adanya keterkaitan finasial antara individu dengan institusi, maka pengelola institusi "dipaksa" untuk bersikap transparan dan akuntabel.
Bagaimana dengan nasib siswa dan mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi? Saat ini akreditasi yang dilakukan Depdiknas tidak memasukan komponen biaya per siswa atau mahasiswa (unit cost: uang pangkal dan iuran bulanan). Seharusnya pemerintah sebagai regulator, memasukan unit cost siswa atau mahasiswa dalam proses akreditasi setiap satuan pendidikan. Tentunya, satuan pendidikan yang mendapat hasil akreditasi A tidak akan sama unit cost siswa atau mahasiswa-nya dengan satuan pendidikan yang mendapat hasil akreditasi B, atau C. Penetapan tarif pendidikan atau unit cost pada setiap proses akreditasi satuan pendidikan perlu ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini untuk mencegah praktek semena-mena (free fight liberalism) dalam penetapan biaya pendidikan oleh pengelola satuan pendidikan. Setelah pemerintah menetapkan tarif pendidikan sesuai dengan hasil akreditasi, maka pemerintah perlu mengeluarkan aturan yang berikutnya yang didasari prinsip: “yang mampu membayar, yang tidak mampu pemerintah berkewajiban memberikan bea siswa sejumlah tarif pendidikan yang telah ditetapkan”. 
Tidak seperti sekarang, yang mampu dapat mengenyam pendidikan yang baik dan bermutu, sementara yang tidak mampu, tidak terbantu atau hanya mengenyam pendidikan ala kadarnya. Jika prinsip, yang mampu membayar, yang tidak mampu diberikan bea siswa sejumlah tarif pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dijalankan, dan jika keuangan pemerintah memungkinkan, maka pemerintah dapat memberikan bea siswa kepada seluruh siswa atau mahasiswa se-Indonesia. Pada kondisi ini, maka penyelenggaraan pendidikan gratis dan bermutu dapat terselenggara.
Ketika sektor pendidikan telah dikatagorikan sebagai suatu entitas usaha, maka bantuan pemerintah tidak lagi semata-mata dalam bentuk hibah atau grant. Hibah atau grant dari pemerintah hanya diberikan semata-mata untuk bea siswa atau penelitian. Selain untuk bea siswa atau penelitian, bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada satuan pendidikan diberikan dalam bentuk pinjaman lunak (soft loan) atau penyertaan modal. Pinjaman atau penyertaan, lebih memiliki akuntabilitas bila dibandingkan hibah atau grant. Tidak seperti sekarang, pemerintah memberikan semua bantuan kepada satuan pendidikan dalam bentuk hibah atau grant, seperti: Imbal Swadaya, BOP (Biaya Operasional Pendidikan), BOS (Biaya Operasional Siswa), BOMM (Biaya Operasional Manajemen Mutu), Bantuan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dsb.
Bagaimana dengan status kepegawaian di satuan pendidikan negeri yang berbadan hukum PT Persero yang terbuka? Status kepegawaian di satuan pendidikan itu berstatus swasta, sama seperti satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola oleh swasta. Apabila pegawai atau karyawan di satuan pendidikan itu ingin mendapat pensiun, pihak pengelola satuan pendidikan tinggal menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan yang mengelola dana pensiun (DPLK). Mengapa di satuan pendidikan swasta yang telah dikelola dengan baik, mereka bisa menciptakan guru dan karyawan satuan pendidikannya betah bekerja? Bila motiv pemerintahnya adalah mengumpulkan suara melalui pengangkatan banyak PNS (termasuk guru-guru) baru, apalagi bila menjelang pemilu, maka reformasi birokrasi disektor pendidikan tidak akan pernah terwujud. 
Kemitraan antara sektor pemerintah dan sektor publik, dikenal dengan Public Private Parnership (PPP). Penerapan model Public Private Partnership ini akan dapat mereposisi peran pemerintah pada posisi yang strategis, yaitu sebagai regulator dan fasilitator. Sejatinya, model PPP bisa diterapkan hampir disemua sektor pelayanan publik. Bila model PPP ini diterapkan di Dirjen Pajak, maka kita akan bisa menyelamatkan banyak Gayus untuk menghindari praktek korupsi. (Jakarta, 5 April 2010)
*) Direktur LKPPI (Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia)